Balas Budi dan Tahu Diri

Balas Budi dan Tahu Diri

Daftar Isi

Mungkin kau pernah bertanya, mengapa anggota legislatif lebih mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat?

Mari kita jawab bersama-sama.

Yang harus dipahami pertama-tama bahwa negara kita adalah negara yang dibangun diatas pondasi keluarga. Karena itu, relasi yang terbangun antar individu maupun kelompok yang terlibat langsung dan hidup di negara ini dapat dianalogikan layaknya bentuk relasi dalam keluarga.

Dimana ayah sebagai sentrum kuasa dalam keluarga dan simbol kebijakan, terkonstuksi dan tumbuh dalam citra diri seorang bos, seorang kepala pemerintahan, seorang kepala sekolah, seorang pemimpin partai, seorang kepada desa, dan pemimpin-pemimpin lain dalam struktur sebuah organisasi. Ibu sebagai sosok penuh kasih sayang dan simbol ketulusan, bertransformasi dan mewujud dalam citra lembaga atau organisasi mulai dari kementerian, kelurahan, kecamatan, partai politik, dan stuktur-struktur lainnya. Sementara anaknya adalah kita semua, rakyat.


Bagaimana dalam konteks politik?

Dalam struktur keluarga, ketua partai menjadi simbol ayah. Anggota partai adalah anak-anaknya. Anak patuh karena hormat dan segan, demi menghidari murka sang ayah. Inilah mengapa anggota-anggota partai tunduk patuh sekali pada pimpinannya daripada tunduk pada suara rakyat. Mereka taat perintah bukan karena atas profesionalisme, mereka tunduk karena takut murka sang ayah. Bisa-bisa didepak ia kalau melawan.

Selanjutnya dalam struktur keluarga pula, ibu adalah sosok pemberi tak harap kembali (ada lagunya ini :D) . Kendati tak harap kembali seperti lirik lagunya, sebagai anak sudah sepantasnya harus tahu diri dan berupaya untuk membalas budi. Inilah yang menjadi pondasi atas segala-galanya yang terjadi dalam lingkaran kehidupan masyarakat kita dengan sistem kekeluargaan yang mendarah daging ini.

Oleh karena partai politik menjadi simbol ibu. Maka anggota legislatif sebagai anak harus tahu diri. Apa yang telah dilakukan partai politik dalam keberhasilannya mendudukan ia di kursi wakil rakyat menjadi sebuah utang budi yang secara sadar penuh harus dibayar, baik dalam bentuk uang (yang dulu menjadi ongkos kampanye) maupun pengabdian (taat pada garis kebijakan partai sekalipun itu tidak pro-rakyat). Relasi partai dan anggota menjadi relasi keluarga. Makanya setelah berhasil duduk di parlemen, prioritas utama adalah menyenangkan sang ibu. Ia harus tahu diri dan tahu balas budi. Apa yang terjadi? Tugasnya sebagai penyambung suara rakyat hanyalah menjadi pepesan kosong yang diumbar-umbar selama kampanye.

Demikianlah. Mohon maaf kalau ngawur.
Open Comment
Close Comment

Post a Comment