Dari New Orleans, Belok ke Indonesia, Trus Ke Los Angeles

Dari New Orleans, Belok ke Indonesia, Trus Ke Los Angeles

Daftar Isi
Tulisan ini dipersembahkan untuk Joey Alexander yang sukses meraih nominasi untuk kategori Best Improvised Jazz Solo dan Best Jazz Instrumental Album di Grammy Awards 2016.

***


Jadi begini. Perhelatan Grammy Awards 2016 kemarin malam akhirnya menyadarkan kita bahwa pada akhirnya musik Jazz-lah yang membawa nama  Indonesia unjuk gigi di panggung musik Internasional. Sebenarnya untuk ukuran negara dengan populasi terbanyak, Indonesia punya potensi besar untuk dikenal. Selama ini Indonesia kan terkenal karena apanya dih..hmm susah dijawab. Bali? Yaelah.. Itu sudah rahasia umum kalau banyak yang tidak tahu Bali ada di Indonesia. Terorisme? Yah lagi-lagi citra buruk. Jadi yang bisa selamatkan Indonesia ini ya salah satunya yang paling masukakal adalah musik. Cina sudah ambil jatah di bidang olahraga dan India sudah ambil jatah di industri film.

Kembali ke musik Jazz, kemudian disitulah masalahnya, Jazz bukanlah musik mainstream di Indonesia. Kalau kau sebut Tompi, Maliq hingga Raisa sebenarnya itu bukan jazz. Kamu kecele selama ini. Itu musik Pop. Trus jazz kan banyak lagi sub-genrenya, jadi mungkin saja kau suka kompilasi lagu di album Jazzy Tunes tapi kemudian berkerut pas dengar albumnya Miles Davis. Tidak ada yang salah. Kita memang dibesarkan dengan tradisi Jazz yang tidak kuat. Karena memang musik Jazz bukan musik yang punya akar kuat di negara kita. Kita kan punya Dangdut. Kalau tidak percaya saya, percayalah Project Pop. Apalagi anak 90-an, kita dibesarkan saat MTV sedang jaya-jayanya dengan Pop, Rock, Punk, hingga Alternative. Ada sih Jazz tapi semua masih dalam koridor easy listening. Smooth Jazz atau Lounge begitu. Jadi pas dengar jazz trio instrumental yang biasa jam session dengan improvisasi itu, wahwei, berkerut-kerut kening yang ada. Kau pasti pusing, bagaimana cara mengetuk-ngetuk kaki di lantai mengikuti irama musik kalau kau tidak temukan pola ketukannya?

Tidak ada yang salah dengan semua itu. Musik memang akan mencari sendiri pendengarnya masing-masing. Kalau kau tidak menepuk-nepuk pahamu saat dengar Joey Alexander membawakan improvisasi Giant Step-nya Coltrane atau manggut-manggut pas saat kau buka Youtube dan coba-coba dengar Kayon (trionya Indra Lesmana, Pra Budi Dharma dan Gilang Ramadhan) membawakan komposisi-komposisi Etno Jazz, tetapi kemudian menggoyangkan badan saat dengar What Do You Mean-nya Justin Bieber, kau tidak berdosa. Sebab tidak ada yang tinggi atau rendah dalam musik. Ini semua hanya soal selera.

Bagi yang sempat nonton audisi X-Factor 2013, disitu sebenarnya ada narasi penting yang bisa kita tangkap, yaitu pas Mikha Angelo-- yang sukses membuat penonton kagum setelah menyanyikan lagu Lost-nya Michael BublĂ©-- ditanya  Ahmad Dhani tentang selera musik. Mikha menyebutkan bahwa selera musiknya mengikuti selera musik kakak-kakaknya. Jadi disitu bisa ditangkap bahwa selera musik memang bukan dibawa dari lahir, tapi ia dibentuk oleh lingkungan, terutama lingkungan masa kecil di rumah. Saya yakin, Indra Lesmana menjadi Indra Lesmana seperti sekarang karena pengaruh orangtuanya. Kaupun juga begitu kan? Suka Dewa 19, The Beatles atau Nirvana karena ikut selera orang rumah? Makanya kalau ada yang bilang kenapa musisi bisa menjadi musisi karena ada darah seni mengalir, itu tidak benar sepenuhnya. Yang ada sebenarnya bukan semata hanya karena darah tapi karena lingkungan yang membentuknya.

Saya bayangkan kalau generasi sekarang seluruhnya diperdengarkan Bebop atau Swing dari kecil, mungkin 30 tahun kedepan kita akan saksikan OM Sagita membawakan Ngamen 18 dengan irama Swing di atas panggung dan penonton alih-alih berjoget tapi malah berdansa. Asolole..!

Open Comment
Close Comment

Post a Comment