Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 31]

Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 31]

Daftar Isi

5 Oktober 2014


Luka yang teramat perih kini menjalar ke ulu hati Ratna. Membayangkan semua yang telah terjadi sama saja melumpuhkan ketegarannya untuk saat ini. Seharusnya, hari ini menjadi hari paling bahagianya. Seharusnya, ia akan bersanding dengan Galih dalam sebuah pelaminan yang telah dipersiapkan dengan baik konsepnya. Seharusnya, hari ini ia memiliki utuh lelaki yang teramat dicintainya itu.

Akan tetapi, ternyata, gaun itu tetap menggantung di lemari, hari ini.

Seminggu lalu, pembicaraan penting itu kembali digelar. Ada Ratna di sana.

“Sebaiknya, semua keputusan kita serahkan kepada anak-anak kita karena mereka yang menjalaninya. Tapi, jika melihat keadaan Galih yang hingga kini masih seperti itu ….” Ayah Galih kehilangan kata-kata di hadapan kedua orangtua Ratna.

“Kami sangat mengerti, Pak. Kita sebagai orangtua tidak mungkin memaksakan kehendak kepada mereka. Mungkin kita serahkan saja kepada Ratna bagaimana kelanjutannya.” Dengan sangat hati-hati ayah Ratna menyerahkan “bola panas” itu kepada putrinya. Ratna, satu-satunya pengambil keputusan, harus menentukan langkah saat itu juga.

Helaan napas dalam terulur dari hidung Ratna. Sebenarnya, tak ada keraguan sedikit pun dengan langkah yang telah dipilih oleh hatinya.

“Ratna ….” Kalimat gadis itu tertahan. Sejenak dipandanginya satu per satu tiga orangtua yang ada di hadapannya. Sang mama yang mengerti kebimbangannya langsung mengusap-usap pundaknya, memberi kekuatan untuknya.

“Katakan saja, Ratna. Om dan Galih akan menerima apa pun keputusanmu,” kata ayah Galih yang juga menangkap kebimbangan di wajah Ratna. “Kalaupun pernikahan itu harus ga ….”

“Nggak, Om, nggak. Ratna akan menunggu Galih. Sampai kapan pun, sampai dia siap menikahi Ratna,” potong Ratna cepat. Gadis itu tertunduk. Ada kepedihan menyeruak dalam batinnya.

Sampai kapan pun.

Sampai ....

... kapan?

Ratna menelan kelu suara batinnya. Ia berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu menepati ucapannya. Pada kenyataannya, hingga detik ini cinta itu masih untuk Galih. Kenyataannya pula, ia berharap nama Galih-lah yang telah tertulis dalam barisan daftar takdir untuknya.

Ini hanya kebahagiaan yang tertunda, bukan gagal, batin Ratna membuyarkan lamunannya tentang pembicaraan kelanjutan nasib rencana pernikahannya.

Sebuah pelukan dari sang mama kini menguatkannya. Seketika melintas bayangan gaun, undangan, suvenir, gedung ….

Sekilas Ratna melirik kembali lemari tempat gaun itu tergantung. Kelu. Ternyata, ia tak setegar ucapannya.

Kelelahan pikir yang mendera telah memengaruhi kondisi fisiknya.

“Ma …,” panggil Ratna lirih ketika ia merasakan tubuhnya benar-benar tanpa daya akibat demam yang menyerang sejak semalam. Mamanya yang sedang berada di dapur segera memenuhi panggilan itu. Di tangannya telah siap semangkuk sup jamur sosis kesukaan Ratna.

“Ada apa, Sayang?” Sup jamur itu kini berpindah ke tangan Ratna yang gemetar karena demam yang terlampau tinggi di tubuhnya. Sang mama yang menyadari itu buru-buru menarik kembali mangkuk di tangan anaknya, lalu menyuapi Ratna dengan telaten.

“Mama menangkap isyarat apa dari kejadian ini?” tanya Ratna tanpa basa-basi. Ibunya yang ditodong pertanyaan seperti itu hanya mengerutkan kening, mencoba membaca ke mana arah pembicaraan anak gadisnya itu. Ia hanya tahu, semalaman Ratna memang didera pikiran tentang masalah yang mengguncang hidupnya.

“Ma …,” panggil Ratna lagi ketika sang mama tak juga memberi jawaban atas pertanyaannya.

“Hmmm ... isyarat? Maksud kamu?”

“Iya … Tuhan mengisyaratkan apa terhadap kita? Apakah ….” Ratna menghentikan kalimatnya. Ada sesak terasa ketika sebenarnya ia tak ingin terlalu percaya pada satu hal yang kini mendominasi pikirannya. Sang mama yang masih telaten menyuapi Ratna kini menunggu apa yang akan diungkapkan gadis itu. 

“Apa memang Galih bukanlah alasan bagi Ratna dilahirkan ke dunia?”

Ibu Ratna mendelik. Ia menangkap maksud Ratna dan mencium hawa pesimisme yang mendera putrinya. Satu tangannya mengusap-usap pundak Ratna.

“Soal itu masih rahasia, Sayang. Saat kita masih bisa berusaha, kita diwajibkan untuk berikhtiar sekuat tenaga. Kenapa kamu jadi ragu?”

“Tapi, sampai kapan, Ma?”

“Sampai satu keyakinan mengantarkanmu untuk membuat sebuah keputusan.”

Ratna tercenung mendengar ucapan Mama. Saat ini dirinya memang belum yakin dan hanya mengira-ngira apa yang menjadi isyarat Tuhan atas kejadian ini.

“Ratna sebenarnya sulit percaya, tapi apakah perkataan Eyang Kakung soal hitungan weton itu ada benarnya?”

Giliran sang mama yang dibuat kaget. Ia justru tak ingat sama sekali dengan hal itu.

“Kata Eyang, jika digabung, hitungan hari lahir Ratna dan Galih kurang pas, kan, Ma? Jauh dari sandang pangan. Mama juga pasti ingat, Eyang pernah bertanya apakah rencana pernikahan Ratna dan Galih akan diteruskan atau tidak. Mungkinkah semua kejadian ini ada hubungannya dengan apa yang pernah dikatakan Eyang soal hari lahir, Ma?”

Mama Ratna yang semula juga tak begitu percaya dengan hitungan weton akhirnya ikut mencari kebenaran atas pernyataan yang pernah disampaikan kakek Ratna itu. Namun, wanita itu tak mau menunjukkannya. Ia tak mau Ratna malah semakin larut dan percaya dengan hitung-hitungan itu.

“Mama yakin, takdir Tuhan yang membuat keadaan menjadi seperti ini. Hidup kita tidak dikendalikan oleh weton, Sayang,” ucap Mama bijak.

Ratna tak ingin membahas lebih jauh. Ia memilih memeluk ibunya erat. Seakan ingin sedikit saja berterima kasih bahwa kejadian demi kejadian yang menimpa dirinya dengan Galih telah mengantarkannya kembali kepada pelukan sang mama. 

Open Comment
Close Comment

Post a Comment