Trilogi Begal: Takdir

Kamu mungkin berpikir jadi begal adalah sebuah pilihan. Seolah-olah kau bangun pagi, minum kopi, melihat jadwal, lalu berkata, "Oh, hari ini aku akan jadi begal." Tapi tidak, Nak. Takdir sudah mengukir garisnya bahkan sebelum kau sempat memilih.

Kau lahir di sudut kota yang mataharinya terik tapi uang selalu dingin. Kau tumbuh di lingkungan di mana anak-anak seusiamu lebih mengenal suara knalpot racing daripada suara guru di kelas. Dan kalaupun kau datang ke sekolah, itu lebih karena berharap ada temannya daripada berharap ada pelajaran yang masuk ke otak. Kau belajar banyak hal di jalanan—bukan dari buku, tapi dari percakapan warung kopi yang isinya lebih banyak kutukan daripada nasihat.

Lalu kau mulai paham. Dunia ini keras. Tidak ada keajaiban yang datang untuk orang-orang seperti kau. Orang bilang, kerja keras adalah kunci sukses. Tapi ketika kau lihat abang-abang kompleks yang banting tulang dari pagi sampai malam masih hidup pas-pasan, kau mulai meragukan teori itu. Kau melihat mereka yang kaya, dan kau sadar satu hal: mereka tidak menunggu takdir, mereka menciptakannya.

Dan di situlah kau memilih jalan pintas.

Awalnya, kau hanya membonceng. Melihat. Belajar. Kau kira ini cuma permainan, seperti video game yang sering kau mainkan di rental PS waktu kecil. Bedanya, kali ini nyawa yang jadi taruhan. Tapi adrenalin itu candu. Sekali merasakan, kau ingin lagi. Kau mulai percaya bahwa dunia ini memang dibangun untuk mereka yang berani mengambil apa yang mereka mau. Kau akhirnya paham mengapa orang-orang yang berbicara soal moral biasanya bukan mereka yang lapar.

Tapi begini, Nak. Takdir itu punya cara lucu untuk menyelesaikan cerita. Kau mungkin mengira sedang menulis kisah hidupmu sendiri, tapi sebenarnya tangan lain sudah menggenggam pena.

Suatu malam, saat kau mengira semua masih dalam kendalimu, tiba-tiba segalanya berbalik. Sirine berbunyi. Jalanan yang dulu terasa seperti panggung pertunjukan tiba-tiba menjadi labirin tanpa pintu keluar. Kau berlari, tapi jalan buntu. Kau meraih pisau, tapi lawanmu memegang pistol. Kau mencoba melawan, tapi kau bukan jagoan dalam film laga. Satu suara ledakan mengakhiri semuanya.

Dan akhirnya, orang-orang menyebutmu begal. Bukan anak. Bukan teman. Bukan sepupu. Hanya begal yang mati di ujung jalan.

Takdir memang tidak pernah memberi pilihan. Kau hanya berpikir kau punya pilihan.

---

tulisan ini dibuat dengan chatgpt karena saya sudah buntu menulis

Post a Comment for "Trilogi Begal: Takdir"