Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 10]


Ratna: Makan malam barengnya dipending ya, Sayang? Malam ini aku mau lembur bikin proposal.

Galih: Wow, proyek apa?

Ratna: Sebenarnya pembuatan semacam iklan layanan masyarakat, tapi kali ini dari perusahaan gede. Proyeknya nggak main-main, nilainya setengah miliar.

Galih: Mantap! Andri juga?

Ratna: Pastinya. Saingan lagi sama dia. Makanya aku harus dapet ide yang lebih oke dari idenya.

Galih: Sipp. Semangat, ya?

Ratna: :-*


Ratna mengakhiri aktivitas chatting-nya dengan Galih dan meletakkan ponsel jauh-jauh dari kepalanya. Ia merebahkan badannya di kasur empuk yang baru diganti seprainya. Bau harum pewangi yang menempel pada bed cover memenuhi indra penciumannya saat gadis itu menutupi hampir seluruh tubuhnya. Suhu udara dari AC kamar yang semakin terasa dingin membuatnya ingin bergelung barang sebentar di dalam selimut tebal sebelum berjibaku dengan pekerjaan semalaman ini.

Ada perasaan berat ketika ia harus membatalkan rencana makan malam bersama Galih kali ini setelah seminggu lebih mereka tidak bertemu. Seminggu belakangan Galih harus loncat dari kota satu ke kota lain mengurusi proyek tiga puluh unit-nya. Ia mencari beberapa suku cadang yang akan dipakai untuk menggarap proyek modif mobil off-road yang akhirnya diterima oleh perusahaannya. Namun, ia bersyukur, Galih bisa mengerti akan hal itu. Ini akan menjadi modal hidupnya ke depan setelah ia menikah dengan lelaki itu. Bersama Galih, hidupnya tak akan penuh kekangan dan aturan, pikirnya.

Sepanjang malam ini ia akan berkutat dengan puluhan ide yang sudah memusar di kepala untuk dijadikan sebuah proposal. Ia harus menyusun segala ketentuan yang masuk dalam konsep untuk tahap praproduksi, seperti sinopsis, treatment, naskah lengkap, dan shooting list. Meski demikian, untuk presentasi awal ia hanya butuh membuat sinopsis tentang konsep yang menjadi gagasannya. Sinopsis itu nantinya yang akan disampaikan kepada klien.

Ia tahu, Andri juga sedang berkutat dengan urusan yang sama. Untuk urusan seperti ini, baik Ratna maupun Andri selalu bersaing untuk menunjukkan ide terbaik yang mereka punya. Maka, mereka pun selalu bungkam tentang konsep yang akan dipresentasikan. Hingga mereka baru sama-sama tahu isi dari ide lawan saat presentasi tersebut. Jika salah seorang dari mereka menang, lainnya akan menjadi anak buah dalam pengerjaannya.

Ratna menyambar kembali ponselnya. Tak lama kemudian jari-jarinya sibuk berkutat dengan barisan huruf di layar sentuhnya.

Ratna: Kali ini doakan gue menang ya, Nyet? Dan gue berdoa semoga lo kalah. Heuheuheu :D

Sent.


Sebuah pesan melalui aplikasi WhatsApp terkirim kepada Andri. Ratna cekikikan sendiri sebelum akhirnya sebuah balasan dari Andri diterimanya.


Andri: Sempruuulll!


Tawa Ratna meledak setelah membacanya. Ia melemparkan ponselnya ke ujung tempat tidur, lalu kembali bergelung.

Kali ini Ratna bertekad bahwa dirinya harus mendapatkan proyek itu lantaran ia harus mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang terbilang banyak untuk acara pernikahannya. Demi hal itu, ia akan bertapa malam ini demi presentasi yang perfect esok hari. Bahkan, kali ini ia rela mengorbankan sebentar saja waktu yang telah dijanjikannya untuk Galih agar bisa berkonsentrasi.

Galih maklum. Meski ia sudah sangat ingin bertemu dengan gadisnya, lelaki itu tak ingin mengganggu pekerjaan Ratna. Ia ingin Ratna menjadi pribadi yang memiliki kemampuan lebih. Galih tahu, pekerjaan Ratna menuntut kreativitas yang lahir dari sebuah pemikiran dan suasana hati yang kondusif. Ia juga sudah kenal betul dengan Ratna yang selalu gagal memperoleh gagasan istimewa jika mood-nya sedang buruk.

Akan tetapi, Galih tak mengetahui ambisi Ratna di balik itu semua. Ia hanya tahu, Ratna selalu serius dengan pekerjaannya. Gadis itu juga selalu total dengan apa yang bisa dicurahkannya untuk sebuah karya yang membutuhkan otaknya. Inilah satu dari sekian banyak hal yang ia suka dari Ratna.

**

Belasan kilometer dari kamar Ratna, Andri sedang asyik main PlayStation di kamar indekosnya. Ia bahkan tak memikirkan apa pun tentang presentasi esok. Tidak seperti proyek-proyek lalu yang konsepnya selalu ia garap dengan serius. Kali ini Andri akan memberikan proyek itu kepada Ratna. Ia tahu, Ratna sangat berambisi mendapatkannya lantaran satu tujuan.

Ponsel yang tergeletak di lantai berbunyi. Andri melirik sekilas nama penelepon. Ibunya. Ia segera menekan tombol pause di stick PlayStation dan menyambar ponselnya.

“Ada apa, Bu?”

Tak ada jawaban berarti. Andri hanya mendengar suara tak jelas. Ia pikir ponsel ibunya terpencet. Lantas ia memutus sambungan dan kembali meletakkan ponsel begitu saja di lantai. Hampir saja ia kembali memainkan stick PlayStation-nya jika naluri sebagai anak tak menghampirinya tiba-tiba. Andri pun meletakkan stick PlayStation dan mengambil ponselnya. Menekan nomor ponsel ibunya.

Setelah beberapa saat hanya terdengar nada panggil, akhirnya sambungan telepon dengan nomor ponsel ibu Andri terbuka.

“Bu, ada ….”

Andri menghentikan kalimatnya. Yang ia dengar bukan suara Ibu yang menyambut telepon darinya, melainkan suara keributan yang terdengar timbul tenggelam bercampur suara anak-anak kecil menangis. Ia menajamkan telinganya, berusaha menangkap dengan jelas apa yang didengarnya.

“Tapi, nggak gitu caranya, Bu ..., jangan kasih jajan sembarangan ke anak-anak ….” Andri yakin betul ini adalah suara kakak perempuannya.

“Ibu … Ibu cuma nggak tega …, dari pagi Kaka rewel …, Ibu ….” Kali ini suara sang ibu yang terdengar pasrah.

“Ibu tahu, kan, kalau jajanan-jajanan ini pengawetnya sangat berbahaya bagi anak-anak? Kalau mereka kenapa-kenapa gimana? Safira juga yang bakal repot!” Suara sang kakak yang terdengar makin meledak membuat emosi Andri terusik. Ia memutus sambungan telepon ke ponsel ibunya dan menekan nomor telepon kakaknya. Namun percuma, sang kakak yang sedang marah-marah itu tak menggubris panggilan di ponselnya.

Andri terdiam. Kini ia diimpit dilema. Kenyataan yang didengarnya barusan membuatnya ingin membatalkan tekadnya menyerahkan proyek itu kepada Ratna.

Jelas, sebenarnya ia sangat membutuhkan proyek itu. Hatinya sempat mencelus ketika ia teringat ibunya yang ada di Jakarta. Wanita yang usianya sudah mencapai kepala enam itu sebenarnya sedang membutuhkan pertolongan.

Rumah yang merupakan peninggalan dari ayah Andri kini justru dikuasai kakak semata wayangnya, Safira. Kakak perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil itu tinggal bersama ibu mereka, tetapi justru ia yang ingin mengatur semuanya.

Andri sudah berkali-kali membicarakan hal ini kepada kakaknya, bahwa ibu mereka harus didengarkan dan dihormati pendapatnya. Namun, kakaknya selalu menganggap bahwa pemikiran konservatif dari ibunya sering kali tak bisa diterima dalam kehidupan masa kini. Dalam hal ini adalah soal mendidik anak-anaknya. Andri sebenarnya tak terima. Ibunya sudah capek-capek dipasrahi untuk menjaga tiga anak kakaknya ketika ditinggal bekerja, tetapi malah sering kena omel sang kakak yang sangat keras kepala dan cenderung egois.

Karena tak ingin membuka jurang antara dirinya, ibunya, dan sang kakak, Andri ingin membeli rumah di Yogyakarta dan mengajak ibunya tinggal bersama. Rumah di Yogyakarta lebih murah ketimbang di Jakarta sehingga jika ia bisa mengumpulkan 50 juta saja sudah bisa digunakan untuk membayar down payment-nya.

Andri juga sempat menyesal kenapa ia tak menabung dari dulu. Penghasilannya selama ini selalu habis untuk hal-hal yang menjadi kesukaannya. Kalau bukan untuk gonta-ganti gadget, ia juga paling senang membeli lensa kamera meski koleksinya sudah berderet.

Kalau saja saat ini ia bisa mendapat 25 juta dari proyek besar itu, paling tidak ia sudah memiliki setengah DP dari total yang dibutuhkan untuk membeli rumah. Oh, ya, untuk rencana membeli rumah, Andri tak mau asal mendapatkannya. Artinya, ia tak mau membeli rumah yang saat ini pembangunannya seperti menjamur. Rumah yang kecil dan bahan materialnya pun di bawah standar. Paling tidak ia ingin beli rumah yang harganya di atas 350 juta. Itu prioritas terbesarnya saat ini.

Maka, ketika kanan-kirinya bertanya kepadanya tentang rencana pernikahan, ia tak terlalu memusingkannya. Pernikahan baru akan dipikirkan setelah ia berhasil mendapatkan rumah. Andri pun terkesan santai menjalani kehidupan pribadinya. Ia memang belum akan mencari pendamping dalam waktu dekat, toh belum ada wanita yang benar-benar klik di hatinya. Ratna tak tahu tentang itu semua.

Rumah atau Ratna? Pikiran Andri kembali terpecah. Kebimbangan kian meringkusnya. Ia memilih merebahkan badan di kasur. Memejamkan mata yang sama sekali belum diserang kantuk.

Jika kembali teringat soal rumah, Andri selalu bersemangat untuk lebih keras bekerja. Salah satunya bisa memegang tiga sampai empat proyek besar Aksata dalam sebulan. Proyek senilai setengah miliar memang baru kali ini mampir di dapur Aksata. Biasanya paling besar ia bisa mendapat bonus senilai sepuluh juta rupiah jika berhasil memegangnya. Tak ada yang dominan antara ia dan Ratna dalam perkara siapa yang sering memenangkan proyek itu. Biasanya jika konsep yang diajukan Ratna lebih bagus, ia dengan sangat legawa menerimanya. Begitu juga sebaliknya. Tak ada iri maupun dengki di antara mereka berdua. Keduanya saling mendukung demi mendapat hasil yang sempurna.

Andri membuka matanya, mengusir jauh-jauh segala bayangan tentang rumah dan Ratna yang silih berganti mengganggunya. Seperti dikomando oleh otak, kini ia membawa tubuhnya ke sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Menyalakan laptop yang seharian ini tak disentuhnya, lalu memaksa otaknya untuk menyiapkan segala keperluan presentasi esok. Hingga subuh, seluruh materi presentasi itu baru selesai. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 10]"