Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 11]
Lima belas menit lagi tim kreatif Aksata akan mempresentasikan konsep video promosi kepada calon klien yang sedianya akan memberi proyek senilai 500 juta itu. Semalaman Ratna menyiapkan seluruh materi presentasi dengan rapi. Seluruh ide ia keluarkan. Bongkar pasang konsep pun berkali-kali dilakukan sampai ia yakin dengan kontennya. Setelah itu, kerangka buah pikirannya itu ia kemas dalam aplikasi Power Point. Ia tak ingin kehilangan peluang mendapatkan proyek besar ini. Demi menambah pundi-pundi rupiah di rekening tabungan, ia bertekad akan bekerja lebih gila daripada sebelumnya.
Tiga orang berpakaian perlente sudah duduk satu deret dalam meja yang sama, tepat menghadap white board yang sudah menempel di dinding. Penampilan mereka hampir seragam, mengenakan kemeja rapi yang bagian bawahnya dimasukkan ke celana. Sabuk mahal melingkar di pinggang mereka. Di meja yang lain, Tommy dan Andri sudah menunggu Ratna.
Ruang meeting Aksata yang dilengkapi susunan meja dengan penataan menyerupai huruf U kali ini akan digunakan untuk presentasi konsep yang sudah disusun Ratna, juga Andri. Waktu yang sangat singkat tak memungkinkan bagi Ratna untuk membicarakan konsep itu terlebih dahulu kepada Tommy. Sebenarnya, Ratna merasa aneh dengan klien ini. Biasanya klien akan melakukan brief terlebih dahulu dengan tim kreatif Aksata untuk membicarakan bentuk yang mereka mau dalam produksi video yang akan dipesan. Namun, kali ini si klien pasrah saja seakan tak memiliki ide apa pun dan menyerahkan semua pada Aksata. Kalau sreg diambil, tak cocok ya cari biro lain. Begitu kira-kira prinsip klien.
Tommy tak ambil pusing dengan itu semua. Hal yang membuatnya tenang dan mantap adalah presentasi Ratna atau Andri selalu goal, seperti yang sudah-sudah. Atas dasar itulah ia memercayakan proyek sepenuhnya kepada mereka, termasuk proyek besar ini.
Kali ini Ratna hadir dengan penampilan yang sedikit berbeda. Rambut hitam yang sudah dikeriting gantung tergerai memenuhi seluruh punggungnya, sedikit menjuntai di depan bahunya. Sapuan make-up tipis menghidupkan aura kecantikannya yang magis dan membius. Kali ini gadis itu mengenakan blazer warna mocca sebagai atasan yang dipasangkan dengan celana kain hitam model pensil. Sepasang ankle boot yang juga berwarna senada dengan blazer yang dikenakan menutup sempurna dua ujung kaki panjangnya.
“Ini si Kunyuk kesambet apaan, ya?” bisik Andri kepada Tommy yang juga tampak terkesima dengan penampilan Ratna kali ini. Tommy menoleh ke arahnya sebentar dengan datar, lalu kembali menatap Ratna dengan saksama. Ia memuji diam-diam. Ratna pintar mengelola kesempatan, pikirnya.
“Maaf, saya sedikit terlambat.” Ratna mengambil tempat duduk di sebelah Tommy, sembari mengulas senyum kepada tiga calon klien di deretan meja lain. Entah mengapa, kali ini gadis itu merasa degup jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Presentasi yang tak biasa, menurutnya.
Setelah Tommy selesai berbasa-basi dengan sedikit memperkenalkan diri kepada orang-orang penting itu, Ratna sudah bersiap dengan materi yang telah digenggamnya.
Kini gilirannya untuk mempertaruhkan iya atau tidaknya 25 juta akan menambah jumlah angka pada rekeningnya.
“Kami mengusung konsep yang berbeda dari sebelum-sebelumnya.” Ratna mengawali intro dengan kalimat pembuka yang membuat Tommy dan Andri sedikit tertegun. Keduanya saling melempar pandang. Kali ini, mereka sama sekali tak tahu apa yang ada di kepala gadis itu. Ratna sempat melirik sekilas ke arah mereka, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya kembali melanjutkan presentasinya.
“Kita akan membuat iklan ini dengan gaya film pendek,” ujarnya. Tiga orang klien mengerutkan kening mereka. Tommy dan Andri kembali beradu pandang.
“Iklan yang akan dibuat bersifat momentum, bukan? Berarti, konten dari momen tersebut yang harus ditonjolkan, bukan soal koar-koar jualan produknya,” suara Ratna begitu tegas. Giliran tiga kliennya yang tertegun. Ketiganya juga saling melempar pandang. Bagi mereka, jualan produk adalah tujuan utama. Ratna menangkap bahasa tubuh itu.
“Bagaimana kalau kita coba menyentuh hati pemirsa? Kita buat mereka simpati. Toh, tujuannya tetap sama, mencuri hati,” Ratna menambahkan. Yang lain mulai mengangguk-angguk tanda mengerti.
Rupanya para klien mulai terbius dengan diksi yang dipakai Ratna. Bagi yang tak terbiasa, kalimat “mencuri hati” yang dilontarkan Ratna tadi berhasil mendorong mereka agar mau menyelami dunia kreatif lebih jauh lagi. Selama ini mereka hanya dijejali oleh konsep-konsep promosi yang bersifat persuasif kepada sasaran konsumen agar mau membeli produknya. Hasilnya, konsumen justru menganggap iklan-iklan itu sebagai sampah dari program acara televisi.
Ratna lantas menjelaskan konsep video yang telah dirancangnya. Karena sang klien berasal dari perusahaan produk minuman berenergi yang akan membuat video momen kemerdekaan, isinya pun tak jauh dari kupasan kata merdeka itu sendiri.
“Idenya sederhana. Seorang pemuda lumpuh yang berusaha keras mengikuti upacara bendera pada hari merdeka di puncak gunung. Tapi, di tengah perjalanannya, si pemuda mengalami berbagai kejadian yang mengancamnya tak bisa mengikuti upacara itu. Tentu, dalam hal ini adegan yang menyentuh serta audio yang menggiring pemirsa untuk merasakan keharuan menjadi unsur penting di dalamnya.”
Tiga klien berdiskusi sebentar mendengar penjelasan Ratna.
“Adegan seperti apa yang bisa dikatakan menyentuh itu?” tanya salah seorang dari mereka. Pertanyaan yang sudah dipersiapkan jawabannya oleh Ratna.
“Tentu adegan-adegan yang sarat dengan pesan moral akan optimisme dan perjuangan.”
“Misalnya?” kejar salah seorang klien.
“Sang tokoh utama susah payah berjalan dengan tongkat penyangga di tengah rimba belantara. Di tengah jalan, dia menemukan pendaki lain mengalami kondisi kritis akibat kekurangan asupan makanan. Nah, si tokoh ini rela menyerahkan bekal yang dimilikinya demi menyelamatkan sebuah nyawa.” Ratna berhenti sejenak. Ia ingin memberi kesempatan kepada para klien itu untuk mencerna penjelasannya.
Satu dari tiga klien manggut-manggut. “Oke, bisa dimengerti. Lanjut,” ujarnya mempersilakan Ratna. Sementara di balik meja, Tommy dan Andri menahan napas mendengar presentasi Ratna yang memukau.
“Dia hampir menyerah. Medan yang dilalui terlalu berat untuknya karena harus menyangga tubuh dengan satu kaki yang mati rasa. Semangatnya juga hampir patah saat nyaris tak bisa mencapai puncak sebelum matahari pertama pada hari kemerdekaan muncul. Tapi, karena tekadnya yang bulat, akhirnya dia bisa sampai puncak dan memberi hormat kepada Merah Putih dalam upacara bendera.” Ratna menghentikan lagi penjelasannya. Menunggu respons dari para klien.
“Boleh, boleh …,” salah seorang memberi respons positif.
“Tentu, pekerjaan besar kita adalah membuat adegan demi adegan yang menggambarkan perjuangan dan pengorbanan si tokoh agar terlihat hidup, realistis, dan dramatis. Dengan begitu, pesan bahwa perjuangan yang kuat dan pengorbanan yang tulus mengantar kita pada mimpi yang menjelma nyata akan tersampaikan kepada audiens.” Ratna menutup penjelasannya dengan intonasi suara yang sarat dengan optimisme. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan itu.
Ratna melirik Andri sekilas. Sahabatnya itu memberi dua jempol untuknya. Tommy pun puas. Ia yakin konsep Ratna akan diterima oleh klien mereka. Bahkan, ia sempat lupa menanyakan kepada Andri mengenai konsep yang telah disiapkan anak buah andalannya itu. Namun, Andri tak ambil pusing. Ia terlarut bangga dengan apa yang disampaikan Ratna, dan merasa Ratna-lah yang pantas mendapatkannya.
Sabar dulu ya, Bu. Tak ada salahnya membantu mempermudah urusan orang yang sedang berusaha menyempurnakan separuh agama, bukan? Andri membatin.
Sebuah flashdisk berisi bahan presentasi yang sebelumnya sudah siap di genggaman diam-diam kembali dimasukkan ke kantong kemeja.
“Eh, Ndri. Giliranmu presentasi,” bisik Tommy di telinga Andri, begitu tersadar masih ada seorang anak buahnya yang akan menjajakan idenya.
Andri hanya tersenyum dan menggeleng.
“Sori, Bos. Nggak nyiapin apa-apa. Semalem ketiduran, hehehe ...,” sahutnya sembari memasang tampang innocent. Tommy menggeleng-gelengkan kepala. Kali ini ia tidak marah lantaran sudah teramat yakin dengan kerja Ratna. Ratna malah menangkap sesuatu yang tak biasa, lalu mendelik ke arah Andri.
“Buat lo, Nyuk,” bisik Andri. Ratna terkesiap, hampir tak percaya. Matanya nyaris berkaca. Lanjut Ke Part 12 »
Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 11]"
Post a Comment