Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 12]
“Namanya Desa Wanurejo. Kita tanya orang aja, ya?” ujar Ratna setengah berteriak, tepat di belakang telinga Galih yang tertutup helm. Angin dingin yang bertiup dari Bukit Punthuk Setumbu menyambar tubuh mereka yang sudah berbalut jaket tebal. Di atas motor sport, mereka terus melaju mencari desa yang tak jauh dari keberadaan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang.
“Udah sampai sini kalau nggak ketemu, ya, rugi banget kita,” sambung Ratna begitu motor berhenti di depan sebuah warung kelontong. Ratna turun dan bergegas masuk ke warung. Mencari orang yang bisa ditanya tentang alamat yang sedang mereka cari.
Tak sampai dua menit Ratna kembali dengan wajah lebih semringah.
“Udah dekat dari sini. Tinggal lurus nanti ketemu perempatan belok kanan. Sekitar setengah kilo meter udah ketemu tempatnya,” ujar Ratna sambil naik kembali di atas motor. Kalau sudah punya kemauan, semangat gadis itu selalu meluap.
Hari ini mereka sengaja mengosongkan jadwal pekerjaan. Perburuan perlengkapan untuk persiapan pernikahan akan dimulai hari ini. Desa Wanurejo yang masih berada di Kecamatan Borobudur adalah tempat yang akan mereka cari untuk memesan undangan.
Memang, mereka tak bisa memesannya di percetakan. Undangan dari material utama daun kering bukanlah sesuatu yang mudah didapat. Beberapa tempat cetak undangan menyatakan tak sanggup memenuhi pesanan itu. Para customer service di tempat percetakan undangan itu memberi jawaban yang hampir seragam: materialnya terlalu rumit. Padahal, menurut Ratna, dari segi desain biasa saja. Sangat simpel, malah.
“Desainnya memang simpel, tapi proses bikin materialnya yang rumit. Wajar mereka nyerah duluan,” kata Galih saat berusaha menghibur Ratna usai ditolak beberapa percetakan beberapa waktu lalu.
Lantas, mereka mencoba mencari informasi di internet tentang perajin yang biasa membuat kriya dengan material daun kering. Biasanya kriya itu berupa sampul untuk buku harian ataupun dipakai untuk melapisi bingkai pigura. Perburuan di dunia maya pun membuahkan hasil. Akhirnya, mereka menemukan satu artikel yang memuat liputan para perajin daur ulang di Desa Wanurejo. Sebenarnya, desa itu adalah pusat kerajinan tangan berupa miniatur candi berbahan fiber, tetapi ada seorang penduduknya yang ternyata menekuni usaha daur ulang bahan alam.
Setelah melewati rute yang ditunjukkan oleh pemilik warung tadi, akhirnya Ratna dan Galih menemukan tempat pembuat kerajinan itu.
Seorang lelaki paruh baya bernama Sukamto yang sedang sibuk dengan tanah liat untuk dibuat kerajinan gerabah menemui mereka. Ratna dan Galih pun langsung mengutarakan maksudnya.
“Kalau yang itu saya sudah ndak bikin lagi,” ujar Sukamto sembari mengisap dalam-dalam rokok lintingnya.
Ratna melempar pandangan ke arah Galih. Gadis itu lesu seketika. Galih yang menangkap keputusasaan itu langsung tahu apa yang harus dilakukannya.
“Pak, nggak bisa diusahakan lagi? Kami akan pesan banyak, lho. Lagi pula, waktunya masih panjang. Masih sekitar delapan bulan lagi, kok,” pinta Galih. Sukamto memandang mereka bergantian.
“Mbak dan Mas ini kenapa mesti repot-repot cari barang yang rumit pembuatannya? Kan, banyak to undangan yang bagus-bagus dan tinggal cetak?”
Ratna diam saja. Ia merasa percuma menjelaskan kepada lelaki itu mengenai pentingnya tampilan undangan yang akan mereka sebar. Penting menurut dirinya.
“Aku cuma pengin spesial, nggak harus mahal, eh ternyata ribetnya malah lebih mahal,” gerutu Ratna begitu mereka berlalu meninggalkan Sukamto yang sudah menegaskan bahwa ia menolak permintaan mereka.
“Mbak, Mas!” Teriakan Sukamto mengurungkan langkah mereka yang hampir sampai di tempat motor diparkir, di halaman rumah Sukamto yang luas khas rumah-rumah pedesaan. Ratna dan Galih menoleh bersamaan. Sukamto melambaikan tangan sebagai isyarat agar mereka kembali. Keduanya lantas bergegas dengan harapan yang membuncah.
“Saya bisa mengusahakan bahan bakunya sampai jadi bentuknya, tapi untuk tulisannya saya ndak sanggup, saya ini wong ndeso, ndak pernah berhubungan dengan percetakan,” ujarnya. Binar di mata Ratna hidup seketika.
“Nggak apa-apa, Pak. Itu bisa kami buat sendiri nanti,” ujar Ratna mantap, tetapi Galih bengong dibuatnya. Ia belum mengerti maksud Ratna yang akan “membuat sendiri” undangan pernikahan mereka. Terlebih, gadis itu hanya menyunggingkan seulas senyum kepadanya. Lanjut Ke Part 13 »
Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 12]"
Post a Comment