Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 13]


“Ribet banget sih, Nyuk?” Andri melempar gumpalan kertas ke kepala Ratna, tetapi berhasil ditepis gadis itu dan dilempar balik tepat mengenai hidung Andri.

“Namanya juga kawinan. Kalau nggak mau ribet, ya, jomlo aja selamanyaaa, hahaha …,” Ratna menimpali sembari tangannya sibuk menggores-goreskan pensil di atas kertas putih. Andri yang merasa tersindir menjambak ujung rambut Ratna yang kali ini sedang digerai lantaran masih sedikit basah.

“Kenapa nggak beli yang udah ada aja, sih? Atau nyewa, kek. Kan, lebih gampang.”

“Gue udah ngider ke salon-salon rias pengantin di sini dan nggak ada satu pun yang nyewain baju pengantin sesuai konsep dan keinginan gue.”

Andri memonyongkan bibirnya mendengar alasan yang dilontarkan Ratna. Gadis itu tak ambil pusing. Ia kembali menekuni kertas dan pensil di hadapannya.

Saat sketsa yang sedang dibuat Ratna sudah hampir jadi, Andri sudah duduk di sebelah gadis itu. Dengan matanya, lelaki itu kini sibuk mengikuti setiap goresan yang disapukan Ratna.

“Lo pengin bergaya sok Kate Middleton gitu, Nyuk?”

Ratna menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu memandang wajah Andri yang kini dibuat tanpa dosa. “Gitu ya, kesannya?” tanya Ratna yang kemudian menghentikan aktivitasnya.

“Lha itu, model bajunya aja mirip sama gaun dia waktu kawinan.”

Ratna terbahak mendengar komentar Andri. Ia tak menyangka ternyata Andri mengamati juga gaun yang dikenakan calon permaisuri Inggris itu dalam royal wedding lalu. Andri yang keki memberi sebuah jitakan kecil di kepala Ratna.

“Lo sih, Nyuk, kawin aja pakai aneh-aneh. Unik sama norak itu beda tipis. Kalau lo gagal unik, ya, pasti akan jadi norak maksimal.”

“Udah deh, ya? Lo itu orang kesekian yang kasih komentar sinis terhadap konsep gue! Untung calon suami gue tuh, Galih. Coba kalau kayak lo, bisa kawinan gaya Betawi, dah!”

“Lha, apa hubungannya sama Galih?”

“Hmmm ... dia itu orang yang paling ngerti isi kepala dan hati gue. Nggak repot protes-protes kayak lo dan yang lainnya!” Ratna mendengus kesal. Bayangan orangtuanya melintas sekilas.

Andri kembali memonyongkan ujung bibirnya. Ia paling sebal kalau sudah dibanding-bandingkan dengan Galih. Menurutnya, Galih memang memiliki tempat istimewa bagi Ratna, tetapi seorang sahabat juga berhak memiliki tempat istimewa lain yang tak bisa dibanding-bandingkan dengan istimewanya tempat bagi seorang kekasih. Keduanya beda urusan.

“Udah deh, lo mau bantuin gue, nggak, Nyet?”

“Iye ...! Apaaa?”

“Anterin hunting suvenir ….” Ratna merajuk.

Andri berdiri dari tempatnya duduk. “Buruan!” ajak Andri sembari membetulkan letak topinya yang sedikit miring. Ratna kegirangan. Ia tak menyangka, ternyata dirinya tak perlu susah-susah membujuk Andri. Tak lama kemudian, mereka segera beranjak meninggalkan kantor Aksata yang sudah mulai sepi karyawan.

Andri meluncurkan motornya ke kawasan Malioboro. Ratna yang membonceng di belakangnya menurut saja. Kali ini ia percaya pada pilihan Andri.

Setelah berputar dua kali melewati Jalan Malioboro dan Mataram, Andri yang sedari tadi banyak diam akhirnya berbicara:

“Galih ke mana, sih?”

“Lagi banyak kerjaan, Nyet!”

“Terus, ini kita mau cari suvenir di mana?”

Ratna terkejut.

“Lah? Lo sedari tadi lempeng gitu bawa motor kirain udah dapat referensi?” semprot Ratna kesal.

“Gue juga bingung, Nyuk .…”

Satu jitakan mendarat di helm yang menutup kepala Andri. Ratna gondok dibuatnya.

Akhirnya, mereka memilih berhenti di kawasan Nol Kilometer. Satu tempat duduk di depan Monumen Sebelas Maret dipilih keduanya sembari menikmati langit Yogyakarta usai senja.

“Lo maunya yang kayak gimana, sih, Nyuk?”

Ratna hanya mengedikkan bahu. Ia sama sekali belum punya ide tentang suvenir apa untuk pernikahannya.

“Udah, lo pilih aja, tuh, di Malioboro. Banyak, kan, kerajinan-kerajinan unik gitu?” Andri sedikit memberi saran.

“Gue maunya yang spesial, Nyet!”

“Ah, lo apa-apa kudu spesial. Ribet deh, ah!”

Wajah Ratna kecut. Sesuatu seperti menggores batinnya. Ia merasa predikat “ribet” mulai melekat pada dirinya akhir-akhir ini. Raut mukanya lesu, tampak memelas. Andri yang melihat semua itu segera berdiri dan mengajaknya bergerak.

“Yang kawin siapa, yang ikut rempong siapa …,” celetuk Andri berusaha menggoda Ratna saat mereka mulai berjalan kaki menuju kawasan Malioboro. Yang digoda malah makin cemberut dibuatnya.

Di koridor pertokoan sepanjang Malioboro, mereka mulai menimbang-nimbang barang yang kira-kira cocok dijadikan suvenir pernikahan. Ratna yang sebenarnya belum memiliki ide apa pun menjadi kurang antusias. Sesekali mereka berhenti di lapak yang sama, sesekali berbeda.

Pada satu lapak, Andri berhenti dan tangannya terlihat hati-hati menimang-nimang sebuah miniatur sepeda onthel yang terbuat dari besi. Sementara di lapak lain, Ratna sedang mengamati sebuah kotak kecil untuk menyimpan perhiasan yang terbuat dari kayu dan didominasi dengan ornamen gambar wayang.

“Nyuk!” Andri melambaikan tangan sebagai isyarat agar Ratna datang. Gadis itu mendekat.

“Ini keren,” tunjuk Andri pada miniatur-miniatur sepeda onthel yang ditata berjajar dan tampak rapi itu.

“Gila, lo, Nyet! Harganya berapa? Nggak kuat bujetnya!” timpal Ratna sembari berbalik arah dan mendekati lapak lain yang menjual berbagai kerajinan aksesori dari kayu. Andri yang sempat gondok akhirnya mengikuti gadis itu.

“Emang lo nyediain bujet berapa buat suvenir?” tanyanya kemudian.

“Ya nggak lebih dari sepuluh ribulah. Tamu gue sekitar seribuan,” Ratna menjelaskan sembari mengamati sebuah gelang kayu dengan ukiran tipis bermotif batik. Pandangan Andri beralih pada benda di tangan Ratna.

“Masa mau lo kasih gelang?” Andri mencibir begitu tahu Ratna tertarik dengan gelang itu.

“Siapa juga yang mau ngasih gelang? Ini pengin gue beli, Nyet!”

Andri kembali gondok. Ia beranjak menuju lapak lain tak jauh dari tempat Ratna memilih-milih gelang itu. Beberapa gantungan kunci yang terbuat dari batok kelapa menarik perhatiannya.

“Nyuk!”

Ratna yang sudah tahu maksudnya langsung mendekat. Andri menunjukkan beberapa gantungan kunci itu. Ratna langsung mendengus.

“Terlalu biasa!” ujarnya sembari ngeloyor meninggalkan Andri yang kembali sebal dibuatnya. Lantas, mereka terus berjalan di sepanjang Malioboro. Berbagai barang kerajinan tak satu pun yang berhasil menarik perhatian Ratna. Kipas kain batik, gelang kayu ukir batik, atau segala sesuatu yang berbau Yogyakarta yang disodorkan Andri ditolak Ratna.

“Lo maunya yang kayak gimana, sih?” Andri mulai capek dan kesal.

Ratna hanya mengedikkan bahu. Ia juga tak tahu apa yang dimauinya. Ia pun mulai kelelahan.

“Hihhh! Terus, ngapain dari tadi kita ngider di sini?” ujar Andri sembari berjalan cepat meninggalkan Ratna. Gadis itu segera menyusulnya.

“Nyet!”

Andri cuek. Ia terus berjalan menuju motor yang terparkir di kawasan Nol Kilometer. Melewati Pasar Beringharjo yang sudah tutup, dan menembus keriuhan Pasar Sore di sebelah Benteng Vredeburg.

“Nyet!”

Ratna berusaha mengimbangi langkah Andri, tetapi selalu tertinggal.

“NYEEETTT!” teriak Ratna setelah menghentikan langkahnya yang kepayahan. Napasnya turun-naik. Kelelahan benar-benar menderanya saat ini. Andri yang akhirnya tak tega pada gadis itu seketika menghentikan langkah dan membalikkan badan. Dua tangannya bersedekap sembari matanya terus mengamati Ratna yang tengah sibuk mengatur napas.

“Gue nyebelin, ya, Nyet?” tanya Ratna dengan napas terengah.

Andri diam sejenak. “BA-NGET!” ujarnya sembari membalikkan badan dan melanjutkan langkah, meninggalkan Ratna yang tercenung mendengar jawaban itu. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 13]"