Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 18]
Seolah baru menyadari jika waktu telah berjalan begitu cepat, Ratna mendadak panik lantaran hingga saat ini belum ada satu pun persiapan yang bisa dibilang selesai. Undangan pesanannya belum jadi. Si pembuat yang berjanji bahwa bahan setengah jadi akan selesai minggu lalu ternyata minta perpanjangan waktu dua minggu lagi.
Dekorasi juga baru sebatas rencana. Ia belum memilih salon untuk rias pengantin dan keluarga saat hari H. Belum lagi katering yang ternyata sempat luput dari daftar persiapannya. Padahal, katering merupakan bagian penting dari acara utama. Sedangkan hingga saat ini, Ratna belum memutuskan suvenir apa yang sesuai dengan keinginannya. Berbagai pilihan telah disodorkan kepadanya, termasuk dari mama Ratna yang memberi beberapa contoh suvenir dari yang pernah didapatnya.
Kipas batik dengan renda cantik, cepuk porselen, lilin dalam gelas, saputangan berbordir nama mempelai, kotak perhiasan dari kayu putih sudah berderet di depannya. Benda-benda kecil itu adalah usulan dari mamanya. Tak ada yang istimewa, menurutnya. Semua terlalu biasa. Ia ingin yang berbeda, tetapi apa?
“Gimana, Na?” tanya mama Ratna setelah sekian lama anaknya itu hanya memandangi suvenir-suvenir itu tanpa menyentuhnya.
Ratna menggeleng pelan. Mamanya mendengus. Bukan tanpa maksud jika perempuan paruh baya itu menyodorkan sumbangsih untuk keperluan pernikahan anaknya. Sebagai orangtua, terlebih ibu, ia tentu sangat ingin terlibat dalam kerepotan yang dihadapi anak gadisnya. Maka, ketika tahu Ratna belum juga menemukan suvenir yang sesuai untuk pernikahannya nanti, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil hati Ratna.
“Kalau menurutmu barang-barang ini terlalu mahal, Mama bisa bantu nanti,” bujuk Mama lagi. Mendengar komentar itu, Ratna justru melirik curiga. Batinnya merasa terusik lantaran ia sangat yakin bahwa mamanya tahu seorang Ratna tak akan mencabut omongannya. Padahal bagi Mama, maksudnya hanya ingin ikut dilibatkan.
“Ini bukan soal bujet, Ma. Cuma belum ada yang cocok aja,” tegas Ratna. Sang mama terkejut mendengarnya.
“Cuma soal suvenir aja lho, kamu tuh, repot-repot amat,” celetuknya. Emosi Ratna kian terusik.
“Udah Ratna bilang, kan? Biar Ratna yang urus semuanya. Biar Ratna yang repot,” Ratna mendengus sebal. Sang mama yang sempat tersinggung ingin memberi komentar lebih pedas, tetapi ditahannya. Seketika ia menyadari jika emosi Ratna sebagai seseorang yang sedang disibukkan dengan persiapan pernikahan memang sedang labil.
Akhirnya, Mama meninggalkan Ratna sendiri di ruang keluarga mereka. Ia tak ingin persoalan dengan anaknya semakin meruncing.
Ratna diam saja. Ia memilih merebahkan badannya di sofa. Sebenarnya, ia tak ingin selalu terlibat gesekan dengan orangtuanya. Namun, entah kenapa tiap kali membicarakan rencana pernikahannya, pikirannya selalu dipenuhi dengan prasangka buruk terhadap mama dan papanya. Ia selalu menganggap bahwa orangtuanya masih ingin memaksakan konsep sesuai keinginan mereka.
Di tengah kekalutan pikir yang mendera, tangan Ratna menyambar ponsel yang tergeletak di sampingnya. Lalu, membuka aplikasi WhatsApp dan memilih chatting dengan Galih.
Ratna: Aku mulai stres.
Galih: Jangan dirasain sendiri, dong. Sini dibagi sama aku.
Cesss …. Galih selalu berhasil menurunkan kadar panas dalam kepala Ratna.
Jika kata orang gesekan terhadap calon pasangan ketika hendak menikah akan meningkat berlipat kali, tidak dengan yang terjadi padanya. Lagi-lagi Galih bisa membuat Ratna makin yakin akan pilihannya. Ratna menuliskan balasan untuk Galih.
Ratna: Ternyata banyak yang belum beres. Katering, suvenir, dekor, tenda, salon ....
Galih: Oke. Minggu depan kita pastikan kalau semuanya sudah diurus. Aku akan luangkan waktu lebih banyak lagi untuk urusan ini.
Ratna: Aku malah nggak yakin. Proyek Aksata sedang overload.
Galih: Ya sudah, apa aja yang bisa kukerjakan sendiri nanti kukerjakan. Percayakan padaku, dan pastikan sekarang kamu lebih tenang.
Fiuhhh .… Helaan napas panjang keluar dari hidung Ratna. Kelegaan luar biasa tumpah ke dalam hatinya. Galih benar-benar sumber ketenangan dalam hidupnya. Serupa tetes embun yang menyejukkan hatinya dari panasnya ingar-bingar pikiran.
**
Mata Galih belum berhenti mengamati tulisan dalam selembar kertas di tangannya. Di depannya, Windra diam menunggu keputusan bosnya. Sementara di kursi lain, seorang calon klien duduk tenang, didampingi seorang notaris. Ia juga menunggu keputusan yang akan keluar dari mulut Galih.
Selembar kertas berisi perjanjian kerja sama antara Garaga Modif yang sudah lengkap dengan materai sebenarnya siap ia bubuhi tanda tangan. Namun, entah kenapa, ia belum sepenuhnya mantap menggerakkan tangannya ke atas kertas itu.
Ada beberapa hal yang masih menjadi sumber kebimbangannya dalam urusan ini. Di antaranya ia harus menggunakan tabungan untuk persiapan pernikahannya terlebih dahulu untuk modalnya. Ia harus menyediakan dulu semua suku cadang yang dibutuhkan untuk memodif tiga puluh unit mobil yang masing-masing membutuhkan dana minimal tiga puluh juta. Setelah melakukan penghitungan secara terperinci sebelumnya, ternyata seluruh modal berupa uang dan inventory yang dimiliki masih kurang. Maka, meminjam dana dari simpanan untuk pernikahannya adalah jalan satu-satunya lantaran.
Sebenarnya, ia sudah menggadang-gadang dana kredit yang ia ajukan kepada bank untuk menutupi kekurangan modal, tetapi dana itu baru akan cair minggu depan.
Tentu untuk urusan menggunakan dana persiapan nikah ini ia tak mengatakannya kepada Ratna. Bukan lantaran Galih tak lagi mau menjunjung keterbukaan yang mereka sepakati dalam menjalani hubungan selama ini, melainkan karena ia tak ingin menambah beban pikiran Ratna. Memang, dana persiapan nikah yang dipakai akan segera terganti minggu depan, tetapi tetap saja Galih merasa belum mantap.
Kebimbangan kedua adalah baru sekali ini ia menjalin kerja sama dengan calon klien ini meski nama sang klien di dunia otomotif sudah sangat berkibar di jagad off-road Jawa. Karenanya, seharusnya ia tak perlu meragukannya. Namun, tetap saja, menjalin kerja sama dalam proyek besar dengan orang yang baru kali pertama dilakukan adalah seperti main lempar dadu, semua yang ada di depan siapa yang tahu?
“Kenapa lagi, Bro?” Windra yang sudah mendekatkan badannya ke arah Galih berbisik kepadanya.
“Nothing. Cuma belum yakin penuh,” balas Galih juga dengan berbisik.
“Tak ada yang perlu diragukan dari seorang Bisma Arya.”
“Iya, aku tahu. Tapi ….”
“Ini proyek besar, Bro. Dengan kamu kerja sama dia, berarti Garaga Modif udah promosi untung ke seluruh Jawa. Mungkin malah Bisma membawa mobil-mobil garapan kita ke luar Jawa.” Windra kembali meyakinkan bosnya yang hubungannya sudah seperti rekan kerja tanpa pembeda kasta tersebut.
Galih mengerti. Kerja sama dengan Bisma Arya adalah kesempatan emas. Selain dirinya mendapat untung dari proyek bernilai ratusan juta rupiah itu, mobil-mobil off-road hasil garapan Garaga Modif juga akan ambil bagian di kancah off-road tanah Jawa, bahkan Indonesia. Dengan begitu, masa depan gemilang sudah pasti akan digenggam perusahaannya.
Akan tetapi, keraguan masih saja bercokol di kepalanya. Pada saat begini, ingin rasanya ia meminta pendapat Ratna yang selama ini selalu bisa menjadi penepis keraguannya akan banyak hal. Namun, tidak kali ini. Lanjut Ke Part 19 »
Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 18]"
Post a Comment