Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 20]


Seorang kurir datang tepat saat Ratna baru saja merebahkan diri di sofa ruang keluarga setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya. Mama yang menerima kedatangan kurir itu dan melihat apa yang dibawa dalam delapan kardus ukuran mi instan sempat tak mengerti melihat isinya. Mungkin wanita itu akan terbengong dalam waktu cukup lama jika saja sang kurir tak mengingatkannya untuk segera menandatangani surat tanda terima barang yang sedari tadi disodorkan.

“Ini apa, sih, Na?” Mama meletakkan satu kardus di depan Ratna yang sudah asyik melihat tayangan National Geographic di televisi. Gadis itu melirik sekilas, lalu terperanjat setelah melihat isinya. Air mukanya berubah cerah.

“Ini buat undangan, Ma,” pekiknya.

Mamanya makin tak mengerti. Wanita itu hanya melihat ratusan barang berbentuk lempengan segi empat dilapis daun kering yang ditata secara tak beraturan melapisi bahan hardcover di dalamnya. Diambilnya satu lembar, diamatinya dengan saksama.

“Mana tulisannya?” tanya mama Ratna kemudian.

“Ini memang baru setengah jadi. Nanti Ratna yang akan selesaiin sendiri,” jawab Ratna mantap. Sang mama makin tak mengerti.

Tak lama setelahnya, dengan semangat Ratna mengangkat satu per satu kardus yang masih berada di teras rumah untuk dibawa ke kamarnya. Ibunya turut membantu meski di antara mereka tak lagi banyak pembicaraan. Ratna yang tengah lega sekaligus senang, dan Mama yang tak mengerti dan tak ingin menuntut penjelasan lebih.

Setelah selesai dengan aktivitas angkat barang tersebut, Ratna langsung sibuk berkutat dengan laptop dan undangan setengah jadi yang baru didapatnya. Sebuah penggaris plastik berkali-kali mengukur dua sisi undangan, yang hasilnya langsung dicatat Ratna dalam blocknote. Setelah itu ia sibuk membuka aplikasi Corel Draw di laptopnya, lalu memulai dengan membuat desain dan kata-kata yang dirangkainya.

Semalaman Ratna tak lepas dari layar laptop dan printer-nya. Ia hanya berpaling sesekali ketika waktu shalat dan makan malam. Itu pun setelah sang mama berkali-kali mengingatkannya. Tekadnya adalah menyelesaikan desain kertas yang akan diisi rangkaian kata-kata undangan malam ini juga agar keesokan hari bisa langsung dimasukkan ke percetakan. Soal ini, Galih sudah menyerahkan bentuknya kepada Ratna. Sebenarnya, ia berkali-kali menawarkan bantuan, tetapi Ratna menolak karena mengerti kesibukan Galih yang kini masih berkutat dengan urusan kerjanya di luar kota.


Ratna: Besok pas finishing-nya aja kita bikin bareng. Good luck ya, proyek tiga puluh unitnya? Hihihi ….


 Tulis Ratna saat mengakhiri chat dengan Galih di sela keasyikannya berkutat dengan desain.

Sementara ratusan kilometer di luar kota sana, Galih menahan kelu lantaran ia telah merusak janji di antara mereka untuk saling terbuka. Terbuka tentang apa pun yang terjadi dalam lingkaran hidup masing-masing.

Akhirnya, Galih menandatangani perjanjian dengan Bisma Arya setelah Windra meyakinkannya. Hampir seluruh tabungan untuk pernikahan yang nilainya mencapai lebih dari 50 juta harus segera dialihkan untuk keperluan bisnisnya.

Semoga semua akan baik-baik saja, harapnya sembari mengulur napas panjang dan mengisap dalam-dalam rokok yang hanya disentuhnya saat kekalutan menikam pikirannya.

**

Tak mungkin ada orangtua yang lepas tangan begitu saja dengan keribetan yang dialami anaknya saat menyiapkan pernikahan. Orangtua Ratna, meski saat ini keduanya terentang sekat dengan Ratna, tetap saja tak bisa membiarkan anaknya kelimpungan sendiri menghadapi semuanya. Kali ini mereka mengesampingkan ego terkait konsep yang akan dipakai dalam pesta resepsi Ratna dan Galih dengan tujuan meringankan beban mereka.

“Tenda dan kursi biar Papa yang cari, Na,” ujar ayah Ratna menawarkan. Untuk kali pertama, kebekuan yang terjadi semenjak adu ego tentang konsep pernikahan Ratna kala itu sedikit mencair. Sengaja mama Ratna mengatur agar malam ini mereka bisa makan bersama di luar.

Rumah makan lesehan yang menyajikan masakan khas Lamongan menjadi pilihan. Awalnya Ratna enggan ikut, tetapi ia tak punya alasan untuk menghindar setelah menolak dua ajakan yang sama sebelumnya. Satu gazebo dengan meja dan alas berupa anyaman bambu yang menghadap langsung ke kolam ikan dipilih mereka. Mama dan papa Ratna duduk bersebelahan, sedangkan Ratna berada di depan mereka. Kecanggungan sesekali kentara di wajah gadis itu, terlebih ketika keheningan hadir di antara mereka. Sudah berbulan-bulan hubungan semacam itu terjadi, sejak mereka terlibat dalam perbedaan pendapat mengenai konsep pesta pernikahan yang akan dihelat.

“Nggak mungkin kamu tangani semuanya sendiri, Na. Ini bukan perkara sepele,” lanjut lelaki paruh baya sembari menikmati gurami bakar sambal bajak di hadapannya. Mama Ratna yang duduk di sampingnya sempat menyenggol lengannya. Isyarat supaya papa Ratna mengontrol bicaranya. Sedari tadi Ratna belum menjawab apa-apa. Kalimat sang papa barusan membuatnya ingin mengakhiri makan malam itu segera. Di telinganya, justru kalimat ayahnya terdengar seperti menyepelekan kemampuannya.

“Sekarang Papa tanya sama kamu, persiapanmu sampai H minus lima bulan ini sudah dapat berapa persen?” Lagi-lagi mama Ratna menyenggol lengan suaminya meski laki-laki itu cuek saja. Menurutnya, jika semuanya tak ditegaskan segera, bisa-bisa malah bubar jalan pada waktu yang telah ditentukan. Ratna mendadak merasakan hambar pada bebek goreng sambal korek yang sedang dilahapnya.

“Ingat, Ratna, ini hajatan besar. Kamu nggak boleh terlalu percaya diri bahwa semua bisa ditangani sendiri. Oke, katakanlah kami percaya pada kemampuan finansialmu, tapi bagaimana dengan kemampuanmu meluangkan cukup waktu untuk mengurusi semuanya?

Apalagi, pekerjaanmu juga sangat menyita hampir sebagian besar waktumu, kan?”

Ratna semakin tersentil mendengar perkataan papanya. Ingin protes, tetapi mood-nya yang sedang terjun bebas membuat gadis itu enggan melakukannya.

“Sudah, sudah,” Mama menengahi. Perempuan itu membetulkan letak duduk sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sekarang begini saja, Ratna dan Papa sebaiknya hilangkan dulu segala hal yang mengganjal dalam diri masing-masing. Karena pernikahan Ratna adalah satu hal yang teramat serius, sebaiknya jangan sampai ada masalah serius dalam hal ini.” Suara Mama Ratna terdengar jauh lebih bijak.

“Papa, sih, nggak mau cari masalah, Ma, tapi ….”

“Pa!” Kembali mama Ratna memberi isyarat kepada suaminya untuk menurunkan sisi keegoisannya.

Ratna memilih menahan diri untuk tidak menanggapi. Di sebelah kanan-kiri mereka sedang lumayan ramai. Di gazebo sebelah yang jaraknya tak lebih dari sepuluh meter bahkan sedang ada perayaan ulang tahun sekumpulan remaja. Memilih menanggapi perkataan ayahnya hanya akan mengalihkan perhatian kehebohan acara ulang tahun itu kepada mereka bertiga. Karena jika sudah telanjur adu pendapat, Ratna dan ayahnya akan jauh lebih heboh.

Bertiga kini mereka kembali dihadapkan pada kebekuan. Mama yang semula ingin mencairkan keadaan merasa gagal dengan rencananya. Berbagai aneka masakan khas Lamongan yang terhidang di meja lebih banyak dianggurkan.

“Ratna dan Papa, Mama mohon, sekarang kita sama-sama bicara dengan kepala dingin. Sampai kapan, sih, mau seperti ini terus?” Mama Ratna belum selesai dengan usahanya. Ia merasa harus berhasil mencairkan kebekuan malam ini juga.

“Dari tadi Ratna juga diam, kan, Ma?” kali ini Ratna angkat bicara. Ia seakan membela diri dengan menegaskan bahwa ketegangan yang muncul sedari tadi adalah ulah sang papa. Mendengar jawaban itu, orangtua Ratna sedikit tersentak. Sang mama langsung melempar pandangan ke arah Papa. Yang dipandang melengos dan memilih melanjutkan menyantap makanan di hadapannya. Lelaki yang di usia menuju senjanya masih berkaca mata minus itu adalah tipe orang dengan gengsi yang lumayan tinggi.

“Oke, Ratna, mungkin lebih baik kamu ceritakan kepada kami, sudah sejauh mana persiapanmu, apa saja yang masih kurang. Percayalah, Mama juga Papa siap bantu.”

“Tenang saja, Ma. Udah jalan, kok, semuanya.” Ratna masih bersikukuh dengan gengsinya. Mama kecewa mendengarnya. Kecewa karena menurutnya Ratna masih saja tak menganggap penting keberadaannya.

“Na, sebenarnya …,” kalimat yang keluar dari bibir Mama sempat terhenti. Baginya, meski sepele, tak mudah menyampaikan isi hati yang mengganjal selama ini. “Sebenarnya, kami hanya ingin dilibatkan, Na. Selama ini kamu jalan sendiri, seolah tak membutuhkan kami, orangtuamu sendiri. Mama bahkan tak pernah mendengar kamu berbagi tentang kesulitan apa saja yang dihadapi. Mana ada orangtua yang mau berada dalam posisi kami sekarang ini?”

Suara Mama kini bergetar. Kentara sekali wanita itu menahan tangis yang hampir keluar. Tenggorokan Ratna tercekat mendengar curahan hati itu. Ingin sekali ia menghambur kepada Mama dan memeluknya, tetapi sikap itu ditahannya. Ratna masih tak mau dan tak ingin berkata-kata. Dihadapkan pada situasi serius di tengah keramaian adalah hal yang selalu ingin dihindarinya.

Makan malam kali ini tak banyak membuat perubahan. Mereka pulang dengan keadaan yang tak lebih baik daripada sebelumnya. Ratna lebih banyak diam walaupun sebenarnya ingin sekali mengatakan kepada sang mama bahwa ia butuh banyak bantuan motivasi. Namun, setali tiga uang dengan papanya, gengsinya juga terlampau tinggi. Ia masih ingat betul perkataannya dulu bahwa ia bisa menangani semua persiapan sendiri. Mengingkari apa yang pernah diucapkannya adalah hal tabu dalam kamus hidupnya. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 20]"