Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 21]


Ratna berlari kecil dengan wajah berseri-seri begitu keluar dari Aksata menjelang petang. Seseorang yang sudah lebih dari dua minggu ini tak ditemuinya sudah berdiri menunggu. Ada kerinduan yang dalam pada hati masing-masing. Ratna bahkan selalu merasakan sensasi kencan pertama tiap kali akan bertemu Galih setelah berpisah sekian lama. Jika sudah begitu, tetes kerinduan yang terjadi di dalam hati tumbuh subur dengan sendirinya. Begitu juga dengan Galih.

Tangan Galih sudah menengadah begitu Ratna berdiri di hadapannya. Ratna menyambut dua tangan itu dengan tangannya sembari menyuguhkan senyum termanis. Galih mengacak-acak rambutnya, lalu mereka segera menaiki mobil Galih. Iya, begitu saja. Jangan harap ada adegan cium kening atau berpelukan melepas rindu yang sudah mengakar dari keduanya. Sejak awal hubungan, perasaan mereka jauh lebih kuat bekerja ketimbang bahasa tubuhnya.

“Kamu agak kurusan, ya?” Ratna membuka percakapan setelah mengamati perubahan yang sangat kentara pada tubuh Galih.

“Nanti juga bakal gemukan lagi setelah ketemu kamu,” jawab Galih tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan Yogyakarta yang mulai padat saat jam pulang kantor. Ratna tersipu. Baginya, kalimat Galih barusan adalah sesuatu luar biasa, yang tak mudah diucapkan lelaki itu.

“Kita ambil hasil cetakannya dulu aja, baru makan bareng, ya?” Ratna memberi tawaran kepada Galih yang sejak semula memang ingin bertemu Ratna dan mengajak makan malam. Galih terkesiap. Secara spontan ia menginjak pedal rem mobilnya.

“Kenapa?” tanya Ratna yang kaget dengan mobil yang berhenti tiba-tiba di jalanan yang lumayan ramai. Galih yang menyadari keteledorannya langsung memasukkan persneling pada gigi satu, menginjak pedal kopling, lalu pedal gas secara bergantian. Mobil kembali bergerak pelan. Ia menoleh ke arah Ratna. Gadis itu masih menunggu jawaban. Galih tak menjawab apa-apa, hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum kecil kepada gadisnya.

Jauh di dalam hati, perasaan Galih kembali bergolak. Ajakan Ratna untuk mengambil salah satu keperluan pernikahan mereka itu mengingatkannya pada tabungan miliknya yang sudah terkuras untuk bisnis. Pinjaman yang ia ajukan kepada bank baru akan turun tiga hari lagi. Itu pun kemungkinan jumlahnya tak sesuai dengan jumlah yang ia ajukan, setelah sebelumnya pihak bank mengonfirmasi akan hal itu. Artinya, sebagian dana persiapan nikah, entah berapa jumlahnya nanti, tetap akan terpakai untuk menalangi urusan bisnisnya. Untungnya, urusan undangan menjadi bagian Ratna. Jadi, untuk saat ini ia tak harus menjelaskan perihal uang tabungan pernikahannya itu kepada Ratna.

“Gimana? Atau kita makan dulu?” tanya Ratna lagi.

“Nggak, nggak. Ambil cetakan aja dulu,” jawab Galih yang kemudian langsung melajukan mobilnya ke tempat percetakan undangan yang ada di daerah Ngeksigondo. Tempat itu sebenarnya sudah tutup sejak pukul lima sore, tetapi sebelumnya Ratna sudah membuat janji dengan pemiliknya untuk mengambil pesanannya setelah pukul itu.

Setelah menyelesaikan transaksi dengan pemilik percetakan, Ratna dan Galih membawa hasil cetakan itu ke dalam mobil dengan wajah senang. Mereka berdua puas dengan hasilnya. Seribu lembar kertas daur ulang warna cokelat susu dengan ukuran setengah buku tulis telah memuat nama mereka berdua sebagai calon mempelai.

“Besok kita kerja keras, Bradaaa!” ujar Ratna setengah berteriak begitu mobil meninggalkan tempat itu. Galih menyambutnya dengan gerakan tangan kiri yang ditempelkan di kening dengan posisi hormat, sebagai isyarat ia siap menerima ajakan Ratna.

**

Keesokan harinya di halaman belakang rumah Ratna, kesibukan itu dimulai.

Berdua dengan Galih, Ratna telah menyiapkan undangan setengah jadi berupa bahan hardcover berlapis daun kering dan kertas daur ulang yang jauh lebih tipis siap disatukan. Kertas cetakan yang memuat tulisan perihal acara pernikahan mereka akan ditempel satu per satu di atas hardcover berlapis daun kering. Meski kertas yang ditempel hanya selembar, hal itu membutuhkan kerja ekstra lantaran mereka harus melakukannya satu per satu. Seribu lembar tentunya bukan jumlah sedikit untuk melakukannya.

Satu kertas tipis telah ditempel. Ratna melihat-lihat lagi hasilnya. Keningnya berkerut, sesekali. Tampak ketidakpuasan di raut mukanya. Galih yang sedang mengelem satu kertas menangkap keadaan itu.

“Kenapa?” Galih menghentikan aktivitasnya dan beranjak mendekati Ratna.

“Kok, rasanya nggak menyatu, ya?” Ratna menunjukkan apa yang dipegangnya. Galih mengamatinya. Ia tak menemukan sesuatu yang kurang dalam undangan yang sudah bisa dikatakan jadi itu. Menurutnya, kedua kertas sudah berkombinasi apik.

“Menurutku, perlu ada sentuhan apaaa gitu biar lebih natural dan artistik.” Ratna berlalu untuk mengambil kertas-kertas tipis yang diletakkan di atas meja kayu bulat. Galih menurut saja. Ia paham dengan ide Ratna yang kadang di luar bayangannya.

“Ahaaa! Ini nih! Pinggir-pinggirnya perlu dibakar!” teriak Ratna begitu sebuah ide mampir di kepalanya.

“Dibakar??” Galih belum bisa membayangkan ide itu.

“Iya. Di pinggir-pinggir kertas ini kita bakar sedikit aja pakai korek gas, cuma biar dapet efek bakarannya. Akan terlihat lebih artistik, dramatis, sekaligus romantis, menurutku.” Ratna terkekeh saat menjelaskan dengan kalimat yang sedikit hiperbolis. Galih mengerutkan keningnya. Ia membayangkan hasil dari apa yang disampaikan Ratna barusan. Sedangkan Ratna berlari ke dalam rumah untuk mengendap-endap ke ruang kerja papanya. Mengambil korek gas yang biasa tergeletak di atas meja. 

Tak lama kemudian ia kembali dan langsung mempraktikkan idenya. Sesekali mulutnya meniup-niup api yang terlalu besar membakar kertas untuk memadamkannya. Kini kertas tipis berisi undangan pernikahannya itu semua sisinya bersemu cokelat bekas bakaran. Ratna lalu menempelkannya di atas bahan hardcover daun kering, tepat di tengah-tengahnya. Hardcover daun kering itu kini terlihat seperti bingkai bagi undangan di atasnya.

“Lebih keren, kan?” Ratna antusias menunjukkannya kepada Galih. Galih manggut-manggut dengan raut muka takjub.

“Tapi, kerjanya jadi triple, ya? Jadi murid TK lagi, deh, kita.” Galih terkekeh.

“Kok?”

“Membakar, mengelem, menempel,” jawab Galih dengan sangat santai. Ratna tertawa.

“Tambah mengemasnya ke dalam plastik undangan,” imbuh Ratna. Raut mukanya mendadak serius. Mereka berdua berpandangan. Seolah baru tersadar bahwa plastik untuk mengemasnya belum disiapkan. Tak lama kemudian Ratna nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 21]"