Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 22]


Sudah lebih dari lima belas menit Windra mondar-mandir di depan Galih yang bergeming di kursi kerjanya. Tangannya tak lepas dari ponsel yang berulang-ulang digunakan untuk mencoba menghubungi beberapa nomor. Ketika panggilan yang dituju selalu gagal, Windra akan mengempaskan ponselnya begitu saja di meja Galih. Namun, tak lama kemudian ponsel itu diambilnya lagi. Jari-jarinya pun kembali memencet-mencet nomor yang bahkan sudah dihafalnya luar kepala. Selalu seperti itu, berkali-kali.

Galih yang tak beranjak dari duduknya tampak lebih tenang. Tangan dan matanya juga tak lepas dari layar ponsel di genggaman. Ia pun melakukan hal sama, mencoba menghubungi beberapa nomor milik rekan-rekan bisnisnya yang tersebar di beberapa kota. Namun, tetap saja, nihil.

Brakkk!!!

Sebuah kepalan tangan mendarat di meja kerja. Galih terkejut atas kabar yang baru saja diterimanya. Dadanya bergemuruh. Sesuatu telah membuat kecamuk dalam pikiran dan perasaannya. Kabar dari Windra barusan membuatnya kehilangan daya untuk berpikir jernih, bahkan telah memusnahkan semua ketenangan yang biasa dimilikinya. Kali ini, ia tak bisa mengontrol emosi.

Galih bergegas berdiri dari tempat duduknya. Lalu, beranjak menuju luar ruang kerjanya. Namun, baru sampai depan pintu, ia kembali lagi. Di belakang meja kerja ia berdiri membungkuk. Dua tangannya digunakan untuk menopang tubuhnya. Kepalanya menunduk. Ia tahu, petaka sudah mendekatinya. Sebentar lagi, ia tak lagi punya apa-apa. Usaha dan apa yang sudah diperjuangkannya akan lepas dari genggaman.

“Gal, gimana kalau kita tempuh jalur hukum?” Windra yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu berkata dengan suara tak bergairah. Galih enggan menanggapi. Ia tak begitu percaya dengan kerja aparat berwajib di negeri ini. Matanya kini memejam.

Bisma Arya mengkhianati perjanjian kerja sama mereka. Seluruh proyek mobil off-road yang telah diselesaikan Galih dilarikan olehnya. Galih tak menyangka orang yang telah memiliki nama besar itu bisa melakukannya. Menempuh jalur hukum seperti yang disarankan Windra memang harus dilakukannya, tetapi kali ini otaknya terlalu kacau menerima kenyataan ini. Ia mencari jalan untuk menyelamatkan uangnya segera. Otaknya diajak berpikir keras mengenai kemungkinan masih ada jalan keluar yang bisa menyelamatkan Garaga Modif dari genggaman. Namun, setelah beberapa saat, otak yang kalut itu tetap tak bisa dipaksa. Galih memilih pergi untuk menyelamatkan pikirannya yang sudah teramat kacau.

Tubuhnya bergerak mendekati lemari besi yang ada di belakang meja kerja. Hanya ada beberapa tali carmentel yang disambarnya, lalu segera dimasukkan ke carrier. Beberapa peralatan lain ada di rumahnya, tetapi ia enggan mengambilnya.

“Ke mana, Gal?” Windra yang melihat gelagat Galih berusaha mencegahnya.

“Mau ngelepasin sebentar masalah ini.”

Windra maklum. Ia sudah hafal betul sikap bosnya jika sedang ingin melepaskan penat dan kekacauan yang sedang menyerang.

Tanpa banyak bicara, Galih bergegas menuju mobilnya dan membawanya menuju Pantai Siung.

Sikap tenang yang dimilikinya benar-benar lenyap. Galih mengendarai mobilnya dengan belingsatan. Beberapa kali ia hampir menabrak pengendara lain saat melewati tikungan-tikungan tajam dan menanjak yang ada di daerah Bukit Pathuk. Sampai di kawasan panjat tebing Pantai Siung, ia pun bergegas menuju Blok D, area panjat tebing yang sama sekali belum pernah dicobanya. Dengan pikiran yang masih kacau ia segera mengeluarkan semua peralatan rock climbing yang dibawa. Tak seperti biasa, kali ini minim sekali. Hanya ada beberapa carmentel, harness, dan helm. Seketika ia ragu. Apakah akan tetap menaklukkan batu-batu cadas itu atau urung?

Seketika bayangan Garaga Modif yang perlahan terlepas dari genggaman kembali menjajah sadis isi otaknya. Kekacauan lagi-lagi mengepung isi kepalanya. Menyerang dari segala arah tanpa jeda. Galih memegangi kepala dengan dua tangannya. Bayangan itu kembali meledeknya. Terus mengejarnya. Ia bergegas melarikan diri. Membawa langkahnya menuju susunan batu-batu karang cadas. Tak peduli lagi dengan perlengkapan yang jauh dari standar. Yang ada di pikirannya adalah berlari. Mencari jalan kupu-kupu, yang dengan melaluinya ia akan sulit ditangkap oleh masalah yang perlahan tetapi pasti sedang berusaha memasukkannya ke jala.

Tap, tap, hap!

Kaki-kaki dan tangan kekar itu terus berusaha mencengkeram karang-karang tajam. Membawa tubuhnya menjauhi bumi. Semakin jauh, pikirnya semakin ingin terus berlari. Ia tahu, sampai pada waktunya, kenyataan itu akan tetap menangkapnya. Namun, untuk kali ini, ia hanya ingin memberinya jeda.

Peluhnya bercucuran, napasnya tersengal, tangan-tangannya gemetar ketika laki-laki setenang danau itu berhasil menapak di puncak karang. Galih ingin berteriak kepada semesta, bahwa apa pun yang akan terjadi nanti, ia akan hadapi. Maka, dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, ia berusaha membawa tubuhnya berdiri. Menantang angin, menantang apa pun yang akan meringkusnya nanti. Namun, apa daya, kekacauan dalam batinnya itu telah berhasil melemahkannya, melemahkan tubuhnya.

Gravitasi bumi menyeret kuat sekujur tubuhnya. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 22]"