Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 24]


Setelah pukulan telak ini, aku bisa apa?


Galih memukul-mukul paha kirinya, berusaha menemukan rasa dari apa yang dilakukannya itu. Namun, tetap saja, ia tak merasakan apa-apa. Yang ia rasakan hanyalah sakit luar biasa di garis tengah punggungnya.

“Awww …,” seringainya ketika tulang belakangnya merasakan nyeri tak tertahankan.

Paha kiri kembali menjadi objek pukulannya. Raut mukanya berubah ketika usaha itu berakhir tanpa hasil. Kepanikan mulai memenuhi mimik wajahnya. Kini ia melakukan upaya lain dengan mengangkat bagian bawah lutut, diangkat hingga membentuk sebuah siku.

Tangannya kembali memukul-mukul bagian betis. Pukulan-pukulan kecil tak mampu memberi jawaban. Napasnya mulai kembang kempis. Kekalutan perlahan tergambar jelas dalam tiap helaan napas. Hasilnya tak ada beda. Rasa yang dicarinya tetap tak ada.

“Ini pasti hanya sebentar, Yah. Iya, sebentar!” ujar Galih berusaha meyakinkan diri di antara kepanikan yang mengepungnya. Sang ayah yang berada di sisinya hanya bisa diam. Sesekali jakun lelaki tua itu tampak bergerak. Ia tak bisa apa-apa selain menelan ludah. Sinar wajahnya meredup ketika melihat Galih kembali memukul-mukul kaki. Lelaki itu tak bisa berkata-kata. Tak sanggup melihat kenyataan di depan matanya. Ia hanya bisa bergeming dengan mata tuanya yang nanar.

Menyadari itu semua, Galih menghentikan usahanya. Ia menangkap redup pada mata sang ayah. Tiba-tiba ia merasa tak tega.

Kini Galih berusaha tenang. Mengatur kepanikannya agar tidak berkembang semakin kuat. Ia memulai usaha lain. Dua tangannya mengangkat kaki kiri untuk ditapakkan di lantai. Tak mudah melakukannya karena ranjang rumah sakit terlalu tinggi. Setelah berhasil menempatkan telapak kakinya di lantai, kini Galih berusaha melangkah.

Brakkk!!!

Pada langkah kedua, ia terjatuh bersama tiang jarum infus. Kantong cairan infus terlepas dari pengaitnya, lalu menggelinding ke lantai dan merusak posisi jarum yang menancap di kulit. Ayah buru-buru membantu, tetapi ditepis oleh Galih.

“Tenang, Yah, aku bisa melakukannya sendiri,” ujarnya sembari memaksakan diri menyunggingkan senyum, lalu berusaha berdiri dengan satu tangan mencengkeram sisi tempat tidur, tetapi tak juga berhasil. Badannya terlalu berat jika hanya ditopang dengan satu tangan. Kini tangan satunya malah mulai merasakan pegal luar biasa. Galih melirik bagian yang pegal itu, lalu terkejut mendapati selang infus sudah berubah warna menjadi merah. Darah dalam tubuhnya tersedot keluar akibat posisi jarum infus yang berubah saat terjatuh.

Ayah buru-buru memanggil perawat untuk menolong anaknya.

Dengan sigap satu perawat laki-laki dan dua perawat perempuan membantu Galih kembali ke tempat tidurnya. Selanjutnya, mereka membenarkan letak jarum infus di tangan Galih.


Hanya ada Galih yang terdiam serta ayahnya yang menunduk menyembunyikan kepedihan setelah tiga perawat itu meninggalkan ruangan.

Setelah beberapa saat, Galih kembali mengangkat kakinya untuk mencoba kembali berjalan, tetapi sang ayah buru-buru mencegahnya. Ayah menahan kedua tangan Galih sembari berkata pelan. “Sudah, sudah,” ujarnya pelan. Suaranya hampir tak terdengar.

“Tapi, aku harus bisa, Yah,” kata Galih tegas sambil berusaha melepaskan tangan sang ayah yang sempat menahannya.

“Iya, tapi tidak sekarang. Fisikmu masih lemah, jarum infus masih menancap di nadimu,” ujar ayah dengan tangan yang masih menahan lengan Galih.

Galih menarik tangannya lalu merebahkan tubuh. Pandangannya terlempar ke langit-langit ruangan. Beberapa kali ia menelan ludah, berusaha menghapus perih yang mulai terasa di kerongkongan. Saluran di dalam lubang hidungnya mulai sakit. Degup di dadanya mulai tak beraturan. Ada sesuatu yang ditahannya dengan susah payah, tetapi percuma.

Kelopak yang membingkai mata rajawali itu, kini menganak sungai.

**

Kutulis ….


“Arghhh ….” Ratna meremas kertas yang baru saja dibubuhi satu kata, lalu membuangnya begitu saja. Kini ia sibuk dengan kamus Tesaurus. Setelah beberapa lama membolak-balik halaman dan tak juga ada sesuatu yang menarik perhatian, kamus setebal hampir tujuh sentimeter itu kembali ditutupnya.

Satu kertas kosong kembali diambil. Tangannya dengan sigap menyambar pulpen yang juga sempat diempasnya, lantas gadis itu memejamkan mata. Ia sedang memaksa otaknya untuk berpikir keras. Ya, menurutnya ini adalah pekerjaan yang sangat memeras otak. Segala cara telah dilakukannya, termasuk membayangkan hal-hal romantis yang pernah dilaluinya bersama Galih.

Ratna kini mencoba berkonsentrasi. Ia baru saja berhasil masuk ke dimensi melankolis ketika sebuah nada pesan masuk di ponselnya berbunyi. Konsentrasinya buyar seketika. Gadis itu mendengus kesal. Makin kesal ketika tahu si pengganggu melalui WhatsApp itu adalah Andri, dengan segala ke-alay-annya.


Andri: Celumudd mulum Kakaaakkk ….


Kepala Ratna berdenyut sejenak membaca kalimat aneh itu. Setelah menyempatkan diri berpikir sebentar, ia baru paham maksudnya.


Ratna: -____- Najis banget sih lo!

Andri: Bihihihik …. Maklooom. Akooh kan anak saleh .…

Ratna: Gue lagi ada kerjaan penting, tahu?!

Andri: Kerjaan apaan? Palingan lagi nangis di pojokan. Sini gue sodorin bahu. Bahu gorilaaaa ~~~\o/

Ratna: Seriusss, Monyeeettt!

Andri: Udah jangan dibawa ngenes terus. Galih udah baikan ini. Cari angkringan, yuks yuks …?

Ratna: Lagi ga napsu gue.

Andri: Ahelahh, jalan aja dulu . Entar juga ngembat kalau udah lihat sate usus.

Ratna: Ogahhh. Serius, gue harus nyelesein ini.

Andri: Nyelesein apa, sih?


Ratna berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Sesuatu menggelitik perasaannya. Bahkan, ada sedikit rasa malu untuk mengungkapkannya kepada Andri.


Ratna: Kasih tahu nggak, ya ….

Andri: Nggak usah, nggak usah! Bye~

Ratna: Sippo. Bye~


Ratna gondok. Ia melempar ponselnya ke atas bantal sebelum nada pesan masuk berbunyi lagi. Pesan dari Andri lagi.


Andri: Dudududuuu nggak jadi bye. Apaan sih, Nyuk?

Ratna: Hmmm ….

Andri: Apaaa?? Cuma hmmm hmmm aja. Hih! *toyor*

Ratna: Gue lagi bikin puisi.

Andri: BEHAHAHA BEHAHAHA. Apa, Nyuk? Nggak salaaahhh? BEHAHA BEHAHAHA!!! Gue salto dulu, Nyuk. Terusin bikin puisinya! BAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA

Ratna: HIHHH!!! BYEEE~


Obrolan melalui chatting itu berakhir. Ratna tak lagi mau menanggapi pesan-pesan Andri. Ia memilih melanjutkan usahanya merangkai barisan sajak.

Semalaman gadis itu susah payah merangkai kalimat demi kalimat untuk menghasilkan sebuah puisi. Sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukannya. Baginya, puisi adalah hal tersulit yang pernah dicoba untuk dibuatnya beberapa tahun silam. Namun, kali ini, ia rela kembali mencoba membuatnya. Dengan sedikit kerja keras Ratna berusaha menerjemahkan apa yang terjadi di dalam hati ke dalam barisan kata-kata.

Entah sudah berapa puluh lembar kertas dibuang lantaran ia tak puas dengan hasilnya. Menurutnya, puisi itu dibuang karena terlalu lebay, menye-menye, atau apa pun istilahnya untuk menyebut puisi yang ditulisnya teramat picisan. Namun, bukan Ratna namanya kalau menyerah begitu saja. Hingga menjelang subuh, satu puisi berhasil lahir dari kedalaman jiwa. Sebuah terjemahan dari perasaannya.

Gadis itu tersenyum lagi usai membaca puisi itu untuk kali kesekian, lalu memasukkannya ke sebuah stoples kaca setinggi gelas. Puisi itu ditulis dalam sebuah kertas daur ulang cokelat seperti kertas pembungkus semen. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 24]"