Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 25]
Stoples dengan alas berbentuk persegi dan tutup berbentuk lingkaran itu akhirnya menjadi pilihan untuk dijadikan sebuah suvenir pernikahan. Awalnya Ratna menemukan stoples itu di sebuah toko pernak-pernik interior rumah. Di sana stoples-stoples itu digunakan sebagai wadah pewangi ruangan berbentuk bola-bola kristal. Namun, Ratna memiliki ide lain untuk stoples itu. Setelah berpikir keras untuk menyulapnya menjadi sesuatu yang unik, jadilah suvenir cantik seperti yang sekarang. Tak ada bola kristal pewangi ruangan di dalamnya. Ratna menggantinya dengan segenggam pasir akuarium, lalu memasukkan beberapa kulit kerang dan kepompong di dalamnya. Agar lebih manis, gadis itu juga menambahkan sebatang kayu manis di dalamnya untuk memberi efek etnik. Tak cukup sampai di situ, Ratna juga melingkarkan akar wangi yang telah kering di tutup stoples yang terbuat dari bahan stainless.
Siang nanti ia akan membawa stoples itu ke rumah sakit. Ia ingin menunjukkan kepada Galih agar kekasihnya itu membaca pesan hatinya yang tertuang dalam sebuah puisi karya pertamanya.
“Selamat siang, Sayang …,” sapaan Ratna yang tiba-tiba membuat lamunan Galih buyar. Galih menoleh ke arah gadisnya yang hadir dengan senyum merekah. Senyum yang baginya mampu memberi kekuatan untuk melawan kegetiran yang tengah berjibaku dalam batinnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa kehadiran Ratna adalah penawar bagi kepedihannya. Namun .…
“Lihat, aku sudah menemukan contoh suvenir untuk pernikahan kita. Kamu cepat sembuh, ya? Nanti kita bikin prakarya untuk suvenir seperti ini. Agak ribet memang.
Makanya murid TK-nya besok harus naik jadi murid SD,” ujar Ratna terkekeh, sembari menyerahkan stoples yang sedari tadi digenggamnya itu kepada Galih.
Galih tercekat mendapatinya. Mendapati Ratna yang ternyata masih menyimpan rapi mimpi-mimpi untuk dapat bersanding hidup dengan dirinya. Galih bahkan menjadi tak memiliki daya untuk menjelaskan semuanya kepada gadis yang sampai detik ini masih teramat dicintainya itu.
“Kok, bengong? Ini, buka, dan baca tulisan yang ada di kertas itu, ya?” Ratna mengangsurkan kembali stoples di tangannya. Galih menerimanya dengan ragu. Ia bertekad untuk segera menjelaskan semua yang telah terjadi.
“Na, aku ….”
“Sssttt … baca dulu! Aku menulis puisi untukmu,” perintah Ratna lembut. Tak ketinggalan sebuah senyum tipis juga tersungging di bibirnya.
Galih bimbang, tetapi tak bisa mengelak. Meski ragu, perlahan jari-jari tangannya membuka tutup stoples dan mengambil selembar kertas di dalamnya. Ada getir terasa ketika ia mendapati kalimat demi kalimat terbaris di sana. Sebuah tulisan tangan Ratna. Sejenak ia memandang wajah Ratna sebelum akhirnya menekuni kalimatnya satu per satu.
Insting Matahari
Kutulis sendiri memoar tentang angin
Pada relief udara yang basah oleh aklamasi naluri
Juga pada barisan mimpi yang tergambar pada garizah kalbi;
Insting matahari
Angin tak pernah gelisah
Di dadanya kucium wangi kesturi.
Karenanya aku tak lagi gail
Untuk tetap menyematnya dalam-dalam, di dalam geladak hati.
Dialah sang angin;
Adalah dia yang kucintai sejauh matahari.
Galih kehilangan kata saat menuntaskan kata demi kata dalam puisi itu. Tangannya gemetar. Kemudian, ia memberanikan diri menatap lekat mata Ratna. Lelaki itu mendapati bola-bola yang memancarkan sebuah harapan besar terbingkai oleh kelopak mata kucing. Seketika hatinya mencelus.
Lihat, Tuhan. Cahaya itu begitu terang. Harapan itu begitu besar. Haruskah aku memadamkannya? Sekarang? Galih menunduk lesu.
Gantian Ratna mengamati Galih dengan saksama. Ia menemukan mata yang biasanya tajam dan hidup itu kini tanpa cahaya dan nyaris redup.
“Ada … apa?” Sebuah kalimat sepenggal-sepenggal meluncur dari bibir Ratna. Gadis itu mencium ketidakberesan. Mata mereka beradu lama. Galih masih tak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk menyampaikan sebuah kenyataan kepada Ratna. Ia memalingkan muka. Menghindari tatapan Ratna yang menuntut sebuah penjelasan.
“Ada hubungannya dengan ini?” Ratna kembali mengambil stoples dan puisi dari tangan Galih. Galih menggeleng pelan. Ia kembali memberanikan diri menatap mata Ratna.
“Ratna… Aku … lumpuh.”
Suara pelan Galih bagai menyengat setiap sendi dalam tubuh Ratna. Gadis itu terkejut luar biasa, tetapi tak bisa berkata-kata meski beberapa kali mulutnya terbuka, mencoba untuk bersuara. Lelaki di depannya memejamkan mata. Keheningan menyeruak di antara mereka. Galih yang kini terbaring dengan menyandarkan punggung hanya menunduk. Matanya memejam, tak tahu bagaimana caranya ia menguasai keadaan. Keadaan tentang dirinya yang belum bisa menerima kenyataan, juga tentang Ratna yang kini harus siap dilepaskan.
“Tak ada yang bisa diharapkan dari seorang lumpuh yang tak bisa dan tak punya apa-apa lagi. Sekarang semuanya sudah berbeda. Akan lebih baik jika kamu lupakan saja rencana dan mimpi kita, Ratna.”
Ratna terperenyak mendengarnya. Dadanya bergemuruh hebat. Gadis itu tak menyangka dengan niat yang terlintas di kepala Galih. Ia bahkan sama sekali tak memiliki pikiran seperti itu. Meninggalkan Galih dan mengubur mimpi-mimpi mereka adalah hal yang tak boleh tertulis dalam kamus hidupnya. Ratna yakin, mimpi-mimpi itu masih bisa terwujud, bagaimanapun caranya.
Gadis itu lantas menggenggam dua tangan Galih erat. Bola-bola matanya menatap lekat sepasang mata tajam kekasihnya. Gemuruh di dalam dadanya masih meledak-ledak. Ia ingin berteriak, menangis sekencang-kencangnya, tetapi sekuat tenaga ditahannya. Ia tahu, ketegaran Galih sedang rapuh, dan ia tak mau ketegaran miliknya bernasib sama. Kalau keduanya jatuh, semuanya akan roboh.
“Aku tak akan membiarkan mimpi itu terbang begitu saja. Kita tetap menjalani ini bareng, we’re still going strong,” bisik Ratna setelah berhasil menguasai emosi dalam batin dan bisa mengumpulkan kekuatan yang masih tersisa. Galih bergeming. Kata-kata Ratna mampu menyusupkan sedikit keteduhan dalam batinnya. Namun, keraguan itu lebih kuat menyerangnya.
“Menikah bukanlah hal mudah, Ratna. Itu adalah gerbang buat kita menerima sepaket tugas yang harus dituntaskan, juga sepaket tanggung jawab yang harus dijalankan satu per satu, bersama-sama.” Galih mencoba mengungkapkan apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya.
“Iya aku tahu. Tapi, kita menjalaninya berdua, nggak sendiri,” timpal Ratna.
“Berdua, tapi jika salah satu tak bisa menjalankan peran seperti seharusnya, itu berat luar biasa.”
“Kata siapa? Kita bahkan belum mencoba dan berusaha.”
“Berusaha apa? Berusaha memulihkan kondisi kakiku? Dokter bahkan belum berani memastikan bahwa lumpuh ini tidak permanen. Belum lagi kondisi finansialku yang sudah jatuh. Kamu tentu paham, sekarang aku sudah habis-habisan. Bahkan, untuk memulai lagi dari nol, aku tak punya modal.”
Dahi Ratna mengernyit. Ia tak mengerti. “Habis-habisan? Nol?” tanyanya dengan raut muka polos dan tak bisa menyembunyikan kekagetan.
Galih tak kalah kaget. Ia menatap mata Ratna yang sorotnya menuntut penjelasan segera.
“Ayah belum mengatakannya?”
“Mengatakan apa?” kejar Ratna.
Galih menghela napas panjang. Mengatakan dirinya lumpuh sudah sangat menguras energi. Kini ia harus mengatakan kenyataan lain yang tak kalah pahit untuk kehidupan mereka berdua. Galih merasakan dirinya yang tak punya daya.
“Ini ada apa, sih? Ada yang kamu sembunyikan? Apa?” Nada suara Ratna mulai terdengar panik.
“Na ... aku ... Garaga ....” Suara Galih tercekat. Ia tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Baginya, ini sangat berat. Menyampaikan kabar buruk kepada orang yang kepadanya ia ingin selalu berbagi kabar baik.
“Kamu? Garaga? Kenapa?”
Hening.
“Kenapa, Galih?” Tangan Ratna memegang satu bahu Galih. Tanpa sadar sedikit mencengkeram. Ia sudah tak sabar.
Galih mengangkat wajahnya, menemukan bola-bola mata Ratna yang sedang menatapnya dengan nanar.
“Aku ditipu dan ....” Galih bergegas melempar pandangan ke jendela ruangan yang sedikit terbuka. Ratna berusaha sabar menunggu Galih menuntaskan kalimatnya meski napasnya mulai tak beraturan.
“Garaga bangkrut ...,” lanjut Galih dengan suara yang teramat lirih, lalu menunduk dan menyandarkan punggungnya di bed.
Di sampingnya, Ratna tak bisa berkata-kata. Helaan napas panjang terdengar pasrah di telinga Galih. Sekujur tubuh Ratna kembali lemas mendengarnya. Mendengar kenyataan bahwa calon suaminya lumpuh rasanya sudah seperti dilempar ke dasar jurang. Kini ditambah kenyataan lain yang tak kalah pahit rasanya seperti terlempar ke dasar jurang yang di sekelilingnya sudah bersiap belasan harimau loreng.
“Kamu udah lihat bahwa jalan di depan kita udah sangat gelap, kan?” kata Galih pelan. Membuyarkan suasana beku yang tercipta di antara mereka.
Ratna tertunduk. Kini ia yang merasa tak punya daya menerima kenyataan ini.
“Kita bisa usahakan. Semuanya, kembali dari awal,” ujar Ratna tiba-tiba. Ia sendiri tak begitu yakin dengan apa yang diucapkannya. Semua hanya demi membuat Galih tak semakin terbunuh oleh realitas yang sedang berusaha melumpuhkan jiwanya.
“Sudahlah … aku lelah,” tukas Galih cepat. Matanya kembali memejam. Isi kepalanya penuh dengan berbagai persoalan. Ia terlalu lelah memikirkan itu semua. Memikirkan usahanya yang bangkrut, rencana pernikahan yang berpeluang besar untuk gagal, terlebih tentang Ratna. Ia tahu, meski gadis itu hadir dengan ketegaran luar biasa, yang terjadi dengan hati dan perasaan Ratna adalah sebaliknya.
Hal terberat yang kupikirkan saat ini adalah memikirkan perasaan dan hatimu, Ratna. Bukan aku, bukan orang lain, tapi kamu ....
Seketika perasaan luluh lantak menghampiri hati Galih. Ia seakan kembali disadarkan bahwa mimpi-mimpi itu harus dipadamkan segera. Tak ada yang lebih mengerikan daripada membayangkan masa depan yang sudah pasti kelam. Sampai nanti, sampai mati, aku hanya akan ditemani kaki mati ini, batinnya. Lanjut Ke Part 26 »
Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 25]"
Post a Comment