Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 26]
“Arrrggghhh!” Satu pukulan dari tangan Galih tiba-tiba mendarat di kasur tempat tidur.
Ratna tersentak. Ini kali pertama ia mendapati Galih yang begitu emosional. Gadis itu buru-buru memeluknya dari samping, berusaha memberi kekuatan, tetapi Galih mengempasnya. Ratna makin terpana. Untuk kali pertama pula ia mendapati Galih dalam sosok yang berbeda.
Ratna memundurkan langkahnya. Memandangi Galih dengan nanar.
“Kamu pergi saja, Ratna! Aku tak apa-apa.”
Getaran di tangan Ratna semakin kencang. Stoples di genggaman terlepas dan pecah. Isinya berhamburan di lantai. Kelu di tenggorokannya lebih terasa seperti tusukan luar biasa. Bukannya menuruti perintah Galih,
Ratna malah tetap bergeming di tempatnya. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa keadaan Galih memang sedang butuh dimengerti. Ratna menghela napas dalam sebelum mengatakan sesuatu kepada kekasihnya.
“Mungkin kamu sedang butuh sendiri. Tapi, jangan segan panggil aku kalau kamu butuh lagi untuk ditemani,” ujarnya pelan, lalu memunguti pecahan stoples dan mengumpulkan kembali isinya yang berhamburan sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Galih yang memandang kepergiannya dengan tatapan nanar.
Di luar Andri yang sedari tadi sudah menunggu langsung menghambur ke arahnya.
“Gimana, Nyuk?” tanya Andri tanpa bisa menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.
Ratna tak langsung menjawab. Gadis itu hanya memandang Andri sebentar, lalu menunduk.
“Na?” tanya Andri hati-hati saat mendapati Ratna yang terlihat kesulitan membendung emosi.
“Bohong kalau gue baik-baik aja, tapi gue berusaha agar keadaan tak lebih buruk dari ini. Salah satu dari kami harus tetap berdiri. Kalau dua-duanya roboh, remuklah semua mimpi-mimpi,” ujar Ratna dengan suara bergetar sembari terus berjalan di samping Andri yang berusaha mengimbangi langkah cepat Ratna. Gadis itu susah payah menahan tangis yang hampir keluar.
Jauh di kedalaman hati, perasaannya hancur luar biasa. Sebenarnya, ia sendiri tak yakin apakah nanti bisa menghadapi keadaan. Keadaan di mana tubuhnya seperti dilempar jauh melawan gravitasi, lalu magnet bumi menariknya kembali. Keadaan di mana kini tak hanya hati dan perasaannya yang berkeping, tetapi juga harapannya, mimpi-mimpi manisnya. Mimpi yang sudah di depan mata, dan berpeluang hancur tanpa ampun.
Andri tak banyak bicara. Dengan sigap ia menghentikan langkah Ratna. Tangannya merengkuh bahu gadis itu. Merangkulnya dan kembali berjalan menjauhi ruang rawat Galih.
**
Pranggg!!!
Galih meringis. Perlahan darah kental berwarna pekat menyembul dari sela-sela jari tangan kiri yang masih mengepal. Lalu, mengalir memenuhi kepalan itu. Perih luar biasa mulai menjalari tubuhnya.
Sang ayah yang sedang berada di ruang tengah bergegas menuju arah suara. Lelaki itu terkejut tatkala mendapati serpihan cermin yang sudah berserakan di lantai kamar Galih. Makin terkejut ketika mata tuanya menangkap serakan itu telah bercampur dengan tetesan darah segar dari tangan anaknya.
“Galih, apa yang kamu lakukan?”
Ayah Galih bergegas memegang kursi roda yang diduduki anaknya dan hendak membawanya keluar.
“Jangan bawa aku ke mana-mana, Yah!” cegah Galih dengan suara yang begitu tajam dan dingin.
“Tapi ….”
“Kubilang, jangan bawa aku ke mana pun!” Kali ini suara Galih lebih pelan, tetapi malah terdengar makin tajam. Sang ayah tak kuasa melawan. Kini ia sibuk membuka-buka lemari pakaian, mencari-cari benda yang bisa digunakan untuk membalut luka Galih. Tak lama, sebuah pasmina bermotif kupu-kupu milik mendiang istrinya ia temukan. Dengan sigap lelaki tua itu mengambil air dan beberapa obat untuk merawat luka sang anak. Dengan telaten pula ia membersihkan, lalu membalutnya.
“Sudah.” Ayah Galih beranjak meninggalkan anaknya, membawa baskom kecil berisi air dan sebentuk perasaan getir melihat kondisi Galih.
Baru saja ia menginjakkan kaki ke luar kamar, sepasang membran telinganya yang masih tajam mendengar isakan tertahan. Lelaki itu membalikkan badan dan kembali terkejut mendapati Galih yang tengah tergugu sembari mencium pasmina yang membalut tangan kirinya. Sang ayah bergegas mendekat setelah sebelumnya sempat mengambil sesuatu di kamarnya.
“Ini, minum dulu.” Sebutir alprazolam warna biru diulurkan sang ayah kepada Galih. Galih yang kini telah berhenti terisak hanya memandanginya lama, lalu membuang pandangan dan tak lagi menggubris keberadaan obat penenang itu. Ayah menghela napas dalam. Ia tahu, pekerjaan memberi obat penenang kepada anaknya adalah pekerjaan berat yang harus dilakukan. Sudah dua minggu ini Galih menolaknya.
Di atas kursi roda yang sehari-hari setia menopang tubuhnya, kondisi Galih dari hari ke hari kian memprihatinkan. Ia tak melakukan aktivitas apa pun selain melamun. Lelaki itu menjadi sosok pemurung yang sudah berkawan dengan keputusasaan. Mengeluh, menangis, bahkan marah-marah tak jelas, sudah menjadi pemandangan biasa bagi ayahnya. Kondisi psikologisnya telah terganggu. Pernah sang ayah mencoba membawanya ke seorang psikiater, tetapi Galih malah marah luar biasa.
“Ayo, minumlah!” Masih dengan suara halus, ayah Galih tak berhenti membujuk anaknya. Ia tahu, semalaman Galih tak tidur dan hanya berdiam di atas kursi roda sembari memandang ke luar. Meski diam, sang ayah tahu di dalam pikiran Galih berkecamuk banyak hal.
Galih menepis butiran obat antidepresi dari tangan ayahnya. Ia merasa sangat tak perlu obat itu. Memang, setelah mengonsumsinya, ia akan merasa jauh lebih tenang. Berbagai macam pikiran yang lalu-lalang dan berjalan dengan gerakan cepat di kepala bisa berubah pelan, bahkan berhenti. Namun, itu tak lama dan hanya mampu menenangkan beberapa jam. Selanjutnya, pikiran-pikiran itu kembali berjalan cepat, bahkan berlari-lari di dalam otaknya. Itu artinya ia kembali membutuhkan alprazolam jika ingin semua pikiran yang lalu-lalang kembali diam. Galih tak mau hidupnya menjadi budak obat kimia itu.
Sayangnya, Galih tak mau melawan bahaya yang diam-diam sedang menyerangnya. Ia membiarkan pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya terus saja bergerak. Bayangan tentang usahanya yang bangkrut, rencana pernikahannya yang terancam gagal, juga tentang keadaannya yang lumpuh dan tak bisa apa-apa.
Semua itu semakin menyuburkan depresinya. Membuat Galih semakin tenggelam dalam keputusasaan yang dalam. Ia mencoba lari dari kenyataan. Menenggelamkan diri berkelana ke dunia lain dalam imajinasi yang dibangun sendiri. Semakin jauh ia berlari ke negeri itu, semakin jauh pula interaksi dengan orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali dengan ayahnya, juga Ratna.
Begitulah kini. Lima hari terakhir kondisi Galih semakin menyedihkan. Memang tak banyak reaksi yang ditampakkan Galih dalam masa-masa terpukulnya seperti saat ini. Namun, sikapnya yang hanya diam seolah menyeret dirinya sendiri ke dunia yang tak ingin diketahui orang lain, semakin membentuknya menjadi pribadi yang lain. Hari-harinya hanya diam dan berkawan kesunyian.
Jangankan berkomunikasi, mau merespons sebuah pertanyaan atau perintah dari orang lain saja Galih enggan.
Sebelumnya, seorang psikiater psikosomatik didatangkan oleh ayah Galih untuk memeriksa sekaligus “menolong” keadaan anaknya. Psikiater menyimpulkan bahwa keadaan Galih dengan rasa cemas berlebihan membuatnya mengalami depresi yang sudah berada pada level berat. Maka, sejak itulah alprazolam menjadi kawan baru Galih setelah sang psikiater mendapati bahwa obat antidepresan lain yang dosisnya lebih ringan tak lagi mempan.
“Sebenarnya, terapi terbaik adalah dengan hipnosis, Pak. Melalui penataan pikiran-pikiran yang selama ini menjadi faktor utama pencetus depresi yang dialami. Dengan begitu, perlahan dia bisa mengembalikan kepercayaan dirinya sendiri,” ujar psikiater kala itu kepada ayah Galih.
“Atau, Bapak bisa mencoba menghadirkan hal-hal menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Mungkin dengan menghadirkan kebahagiaan masa lalu yang tak ada kaitannya dengan masalah yang dihadapinya kini,” sarannya.
Sejak itu pula, ayah Galih berpikir keras tentang kebahagiaan itu. Ia hanya tahu, kebahagiaan dalam hidup Galih adalah ibunya, Ratna, dan masa kecilnya. Untuk dua hal pertama jelas tak mungkin. Ibunya sudah meninggal, sedang Ratna, adalah pihak yang sangat terlibat dalam pusaran masalah yang sedang dialaminya.
Masa kecil? Jika ini satu-satunya jalan …, pikir sang ayah. Lanjut Ke Part 27 »
Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 26]"
Post a Comment