Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 28]


“Sudah pindah, ya, Bu? Sudah lama?”

“Sekitar dua tahun lalu, kira-kira. Pulang ke Lembanna, menempati rumah orangtuanya.”

“Ibu punya alamatnya?”

Yang ditanya menggeleng.

“Ya sudah. Terima kasih.” Ayah Galih pamit. Peluh mulai menetes di pelipisnya. Makassar kini jauh lebih panas daripada belasan tahun silam, saat ia dan keluarganya bermukim di kota ini. Ia merasakan udara yang kurang bersahabat dengan tubuh tuanya. Batuk yang tiba-tiba datang akibat alergi membuatnya ingin segera pulang saja ke Jawa. Namun tidak, demi Galih.

Berbekal keterangan minim dari wanita sebaya yang ditemuinya tadi, ia kini tengah berada di dalam sebuah taksi yang membawanya ke lereng Gunung Bawakaraeng. Sekilas ia teringat Galih, yang terpaksa harus ditinggalnya bersama asisten rumah tangga mereka di Yogyakarta.

Kini lelaki tua itu mulai mengingat-ingat lagi kehidupan Galih belasan tahun silam.


Galih sangat senang tinggal di rumah masa kecilnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat kali pertama pindah ke tempat ini, usia Galih baru menginjak tujuh tahun. Ia bersama kakak dan ibunya diboyong oleh sang ayah yang dipindahtugaskan ke tempat itu. Usia kakaknya yang jauh berada di atasnya, yang kala itu menginjak umur lima belas tahun, membuat mereka tak terlalu dekat. Sang kakak yang delapan tahun lalu meninggal itu lebih banyak bergaul dengan teman-teman sebaya ketimbang adiknya. Jadilah Galih kecil mencari teman sebaya di tempat barunya.

Tinggal kamu yang Ayah punya, Nak. Doakan Ayah semoga usaha ini tak sia-sia, batinnya penuh harap. Taksi yang membawanya melaju kian cepat.

Udara dingin mulai menusuk ketika taksi mulai memasuki kawasan lereng Bawakaraeng. Sebentar lagi ia akan sampai di Lembanna yang terletak di Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa. Mencari seseorang yang diharapkannya mampu memperbaiki keadaan Galih. Mencari Tenri, juga Ilham.

Lembanna masih saja mempertahankan ciri khasnya. Penduduk yang ramah, dan rumah-rumah yang menjadi penginapan gratis bagi para pendaki Gunung Bawakaraeng. Di sinilah, kali pertama Galih mengenal arti ketenangan hidup yang berasal dari desau angin, gesekan daun, dan dinginnya kabut yang menusuk kulit.

Ayah Galih harus berjalan kaki menuju rumah yang belasan tahun silam pernah dikunjunginya saat menjemput Galih. Rumah kakek dan nenek Tenri dan Ilham.

Setelah sekitar sepuluh menit berjalan, lelaki tua itu menghentikan langkah sejenak. Pandangannya mengitari deretan rumah yang tentu saja sudah jauh berubah dari yang pernah ditemuinya dulu. Kepalanya berdenyut saat otaknya dipaksa mengingat-ingat rumah mana yang menjadi objek pencariannya. Untung ia masih ingat nama ayah Tenri, bekas tetangganya dulu di Makassar. Berbekal nama itu, ia bertanya kepada penduduk setempat dan berharap bisa bertemu dengannya.

Sebuah rumah mungil berdinding kayu yang sudah dihaluskan dengan vernis yang ternyata menjadi tujuannya di desa ini. Rumah Tata’ Nurdin, orangtua Tenri. Berbekal harapan yang meluap, ayah Galih memantapkan diri mengetuk pintu rumah itu.

Cukup satu ketukan, seseorang muncul dari dalam. Tak perlu banyak kata, dua pasang mata yang kini bertemu sama-sama terpana.

“Kamukah itu, Tenri?”

Yang ditanya tak menjawab apa-apa. Ia langsung mendekat, meraih tangan lelaki tua di hadapannya, lalu menciumnya.

“Tak kukira akan semudah ini … terima kasih …,” gumam ayah Galih dengan mata berkabut.

**

“Ali, apa kabar?” sapa gadis ayu itu lembut. Ali adalah panggilan Galih pada masa kecil mereka.

Galih yang masih sangat mengenal suara lembut itu terkejut luar biasa. Perlahan ia mengangkat wajahnya. Sebuah senyum yang sangat dikenal kini ada di hadapannya. Hanya dalam hitungan detik, air muka Galih berubah cerah. Wajah redup itu kini penuh cahaya.

“Ten ... ri?” Suara lirih keluar dari mulut Galih yang sudah sangat lama tak mengeluarkan kata. Ini adalah kemajuan luar biasa.

Seketika ingatan Galih kembali pada masa kecil mereka. Masa-masa indah, penuh warna, dan jauh dari masalah. Masa kecil di lereng Bawakaraeng.

Tenri adalah gadis kecil tetangga Galih di Makassar dengan mata sipit dan pipi bulat yang dulu menjadi sahabat karibnya. Orangtua Tenri berasal dari Lembanna, sebuah desa di lereng Gunung Bawakaraeng. Sejak Tenri berumur satu tahun, orangtuanya pindah ke Makassar. Rumah Tenri dan Galih berdekatan dalam satu kompleks yang sama. Tenri memiliki kakak lelaki yang umurnya hanya selisih satu setengah tahun. Hal inilah yang membuat kakak beradik itu dekat dan sering bermain bersama. Saat mereka kedatangan tetangga baru dari Yogyakarta, Tenri dan kakaknya, Ilham, langsung akrab dengan bocah lelaki kecil bernama Galih.

Kedekatan mereka berlangsung selama bertahun-tahun. Keluarga Tenri sering kali mengajak Galih ke rumah nenek Tenri yang ada di Desa Lembanna. Dari sanalah Galih kecil jatuh cinta dengan suasana itu.

Menginjak usia remaja, Galih selalu memilih Desa Lembanna sebagai destinasi untuk mengisi liburan sekolah setiap kali masa itu tiba. Bersama Tenri dan Ilham tentunya, mereka tinggal beberapa hari di desa. Nenek Tenri yang sudah renta selalu menyambut bahagia kedatangan mereka. Bahkan, Galih sudah dianggap sebagai cucu sendiri olehnya.

Di Desa Lembanna itu pula Galih menemukan cinta. Bukan, bukan cinta pertamanya kepada lawan jenis, melainkan cintanya pada isi semesta. Kecintaan itu didapatnya setelah paman Tenri yang juga penduduk Desa Lembanna untuk kali pertama mengajak mereka mendaki Gunung Bawakaraeng, sang Mulut Tuhan.

Bukan pendakian seperti layaknya seorang pendaki gunung yang mereka lakukan kala itu, melainkan pendakian untuk melihat sebuah ritual. Ritual “naik haji” oleh sekelompok masyarakat dari berbagai daerah yang percaya bahwa Mekah ada di sana. Setiap musim haji yang jatuh pada bulan Dzulhijjah pada kalender Islam, ritual ini selalu menarik perhatian. Seperti Galih kala itu yang begitu tertarik dengan apa yang mereka lakukan.

Ia ingat betul, paman Tenri mengajak melihat ritual itu secara langsung. Untuk kali pertama ia menapakkan kaki di gunung. Berjuang dengan menuruni tebing terjal, lalu mendaki ke tempat yang lebih tinggi, adalah pengalaman pertama yang sangat meninggalkan bekas dalam benak Galih. Lelah luar biasa tak dirasakannya. Satu jalur yang sangat ia ingat adalah sebuah titian sempit yang di kanan-kirinya menganga jurang terjal. Mereka dan para “jemaah haji” itu harus melewatinya untuk bisa sampai tujuan, yaitu sebuah tempat yang dipercaya sebagai Mekah.

Galih heran, sebuah batu besar yang terdapat di sana dianggap sebagai Hajar Aswad oleh orang-orang itu. Bahkan, mereka memeluk dan menciuminya. Galih makin terpana ketika selanjutnya orang-orang itu ada yang bersujud dan berdoa sembari mempersembahkan sesajen masing-masing. Jauh di dalam hati, ia tak bisa menerima ritual itu sebagai bagian dari keyakinannya.

Selanjutnya, Galih tak terlalu ambil pusing tentang keberadaan ritual itu. Ia lebih menikmati semesta yang sebelumnya belum pernah dirasakannya. Tiap kali liburan tiba, bersama Tenri dan Ilham dirinya mendaki Bawakaraeng. Sebuah pendakian yang dikatakan nekat karena tak menggunakan peralatan standar. Para “jemaah haji” itu telah mengajarkannya keberanian yang dibalut dengan kenekatan, atau ketidaktahuan? Entahlah, yang ia tahu, Bawakaraeng, Tenri, dan Ilham adalah bagian penting dari masa kecilnya. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 28]"