Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 30]


Sudah cukup lama Andri mengamati apa yang dikerjakan Ratna. Sedari tadi timeline Adobe Premiere yang ada di layar monitor di depannya bergerak pada bagian itu-itu saja. Andri tahu, Ratna bahkan asal saja memotong gambar-gambar video yang ada dan menyematkannya begitu saja di timeline tanpa memperhatikan sinkronisasi perpindahan gambar dan audio.

“Lo butuh istirahat, Nyuk,” ujarnya sembari mengambil alih tetikus di tangan kanan Ratna. Ratna yang setengah melamun terkejut dibuatnya, lalu berusaha merebut tetikus itu meski tak berhasil.

“Deadline udah deket. Gue harus segera selesaiin semuanya,” jawab Ratna dengan intonasi suara agak tinggi.

“Jangan dipaksain!”

“Ini kerjaan gue, apa-apaan, sih, lo jadi ngatur-ngatur gini?” Suara Ratna makin meninggi. Andri sadar betul dengan kondisi itu.

“Lebih baik lo ambil cuti. Kerjaan lo entar gue yang ngerjain.”

“Maksud lo apa? Gue bisa selesaiin ini semua!” Andri menghela napas panjang. Ia tahu suasana hati Ratna sedang labil. Keletihan fisik karena harus bolak-balik menjenguk Galih serta keletihan psikologis yang mendera telah membuat gadis itu menjelma menjadi sosok yang berbeda dari biasanya.

“Dengerin gue, Na. Lo nggak lihat itu editan? Motong gambar aja banyak yang nggak bener, gimana mau ngerangkai? Kerjaan kita ini butuh otak yang fresh, Na. Gimana mau dapet hasil sempurna kalau isi kepala masih awut-awutan begitu?”

Ratna makin tak terima dengan perkataan Andri. Andri yang tersadar omongannya terlampau menusuk kini menyesal dan buru-buru menariknya.

“Maksud gue .…”

“Udahlah. Lo urusin aja kerjaan lo, gue urus kerjaan gue!” jawab Ratna sembari beranjak meninggalkan Andri yang menyesali perkataannya.

Ratna memilih halaman belakang Clipper yang sepi untuk menyendiri. Jauh di lubuk hati, ia juga menyesal dengan sikapnya barusan. Ia tahu, sikap Andri tulus ingin mengerti dan menolong keadaannya, tetapi entah kenapa saat ini dirinya sedang tak bisa menerima masukan apa-apa.

Andri datang dengan segelas mint tea yang langsung disodorkan kepada Ratna.

“Minum dulu, Nyuk.” Ratna tak langsung menyambutnya. Gadis itu memandang wajah Andri sebentar, baru menerima gelas yang sudah berada di hadapannya, lalu meneguk sebagian isinya.

“Sori, Ndri. Pikiran gue lagi bertumpuk-tumpuk.”

“Makanya gue bilang lo butuh istirahat. Refresh isi kepala lo dengan pergi ke tempat-tempat yang jauh dari lingkaran persoalan lo. Lo mesti kontemplasi dan menetralisasi lagi isi kepala lo itu, Nyuk!” Andri memberi saran dengan hati-hati, khawatir emosi Ratna kembali tinggi.

“Hmmmh … habis selesaiin proyek ini, deh, gue ambil cuti,” kata Ratna diikuti embusan napas dalam.

“Menurut gue, mending sekarang aja. Proyek yang sedang kita kerjain ini menguras waktu dan tenaga banget,” ujar Andri kembali memberi masukan. Namun, masukan itu tak direspons Ratna. Proyek yang sedang dikerjakannya saat ini adalah proyek yang sudah setengah jalan dipegangnya. Baginya, sulit menyerahkan proyek setengah jadi kepada orang lain, termasuk Andri sekalipun.

“Nggak. Gue selesaiin ini dulu,” jawab Ratna tegas.

“Hmmmh … oke, selanjutnya kita eksekusi apa?”

“Besok ambil gambar dokumentasi.”

“Oke. Siapin fisik dan pikiran fresh, ya?” Andri meninju pelan lengan Ratna, lalu beringsut dari gadis itu.

**


Semakin hari, Galih makin sibuk bersama Tenri. Tenri bahkan mulai berhasil membujuknya jalan-jalan meski masih dengan kursi rodanya. Ratna yang masih telaten datang ke rumah Galih sering kali harus terima tak mendapat apa-apa, terlebih perhatiannya.

“Ke angkringan yuk, Nyuk?” ajak Andri kepada Ratna yang sedang berkutat dengan lamunan tentang Galih dan Tenri. Ratna menggeleng.

“Gue mau belajar masak.”

“Whattt???”

“Kenapa? Masalah?” ujar Ratna ketus.

“Lo kesambet apa lagi?”

“Kesambet setan jealous!”

Dahi Andri berkerut.

“Bentar … maksud lo jealous sama? Oooh ... Tenri?”

Ratna tak menjawab dan hanya mengedikkan bahu, kemudian kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Benar saja, selepas pulang kerja Ratna mampir ke supermarket untuk belanja beberapa sayuran. Sebelumnya, ia sudah mencari tahu apa saja bahan dan bumbu yang dibutuhkan untuk memasak makanan favorit Galih: sup kacang merah.

Sampai di rumah, setelah selesai membersihkan badan, Ratna sibuk berkutat di dapur. Kacang merah, daging, wortel, daun bawang, serta bumbu-bumbu lainnya sudah siap. Berbekal resep yang ia dapat dari internet, gadis itu mengolah seluruh bahan yang tersedia dengan berbagai macam perasaan. Perasaan cinta, tulus, dan geregetan. Iya, geregetan karena bagaimanapun Tenri telah mengambil perhatian Galih yang dulu mengalir deras untuknya. Tanpa sadar, ia mencincang daging dengan keras lantaran gemas.

Kini Ratna didera perasaan tidak rela. Ia mulai merasa cemburu. Kenyataannya, Tenri-lah yang kini lebih “didengar” oleh Galih ketimbang dirinya. Bahkan, Galih seperti sengaja tak mengacuhkannya.

Hampir tiga jam Ratna menghabiskan waktu di dapur. Ia dengan sabar menunggu hingga rebusan kacang merah dan daging empuk. Mengiris tipis-tipis wortel sampai pisau hampir melukai kulitnya, juga menggoreng bawang hingga hampir saja gosong. Semua dilakukannya demi tak mau kehilangan Galih. Setelah bersusah payah dengan aktivitas yang selama ini sangat jarang dilakukannya, akhirnya sup kacang merah buatannya jadi juga. Menurutnya, rasa yang dihasilkan hampir mendekati rasa sup kacang merah Bu Yanti, tempat dulu ia dan Galih biasa memanjakan lidah untuk menikmati makanan kesukaan Galih.

Galih tengah berada di teras belakang rumahnya ketika Ratna datang membawa hasil jerih payahnya. Seperti biasa, lelaki itu duduk terdiam di atas kursi roda. Pandangannya menerawang, menembus gugusan gemintang di langit malam yang sedang benderang. Tumben tak ada Tenri menemaninya di sana.

Ratna mengambil kesempatan itu.

“Malam, Sayang …,” sapa Ratna, membuyarkan lamunan Galih. Lelaki itu tak menjawab apa-apa dan hanya mengerlingkan mata sebagai tanda ia menyadari kehadiran Ratna.

“Aku bikin ini untukmu. Makan, ya?” Tanpa menunggu jawaban Galih, Ratna bergegas menuju dapur untuk memindahkan sup kacang merah ke dalam mangkuk. Tak lama kemudian ia kembali ke teras belakang. Hatinya mencelus mendapati Tenri sudah ada di sana.

“Gimana? Enak kan, Ali?” ujar Tenri sambil menyuapkan makanan kepada Galih.

Perlahan Ratna mendekati mereka.

“Ten, itu makanan apa?” tanyanya melihat makanan asing di dalam piring yang dibawa oleh Tenri.

“Eh kamu, Ratna. Kapan datang?” jawab Tenri tanpa menjawab pertanyaan Ratna kepadanya.

“Barusan. Itu makanan apa? Galih suka makanan berkuah. Dia tak suka makanan kering, apalagi yang bersambal kacang. Biar kusuapi sup kacang merah ini saja,” kata Ratna sembari mendekati Galih dan siap menyuapkan sup bikinannya kepada Galih. Namun, yang terjadi, Galih menepis dengan tangannya. Ratna terkesiap.

“Ini sup kacang merah, Gal. Bukankah kamu suka? Aku sengaja membuatnya untukmu.”

Tak ada jawaban apa pun dari Galih. Begitu pun Tenri yang hanya diam tanpa tahu harus berbuat apa. Ia merasa tak enak hati dengan Ratna.

“Biarkan dia makan ini, ya, Na? Seharian perutnya tak kemasukan apa-apa. Ini kucoba buatkan siomay, ternyata dia mau memakannya,” pinta Tenri kemudian, lalu kembali mengangsurkan sendok berisi siomay kepada Galih. Galih mau melahapnya.

Ratna makin tak percaya. Dulu, Galih paling anti segala makanan dengan sambal kacang. Ia sangat yakin, sekarang pun Galih mau melahapnya dengan terpaksa.

Kini gadis itu memilih diam. Ia terpaksa melihat pemandangan Galih yang mau memakan siomay buatan Tenri hingga habis, demi bisa menunggui Galih dan mencari cara lain mendekati Galih.

Setelah menghabiskan makanannya, Galih yang sekali pun tak mengeluarkan sepatah kata mengisyaratkan bahwa dirinya telah mengantuk dan hendak tidur. Ratna langsung bersiap mendorong kursi roda yang diduduki Galih untuk masuk ke kamar ketika Tenri yang dari belakang datang dengan sepasang kruk di tangannya.

“Ali sudah tak mau terlalu bergantung dengan kursi roda, Ratna,” ujarnya sembari membantu Galih berdiri dan memasangkan kruk pada posisinya.

“Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarnya,” kata Ratna seraya bersiap membimbing Galih berjalan menggunakan tongkat penyangga itu.

Akan tetapi, belum sempat ia menggandeng lengan kekasihnya, Galih memilih meletakkan satu kruk di kursi roda, dan melingkarkan tangan yang tidak menyangga tongkat itu ke pundak Tenri. Ratna tercekat melihatnya. Ia tahu, Galih sengaja melakukannya. Namun, demi apa? Menyakiti dirinya?

Aku memberikan cinta, tapi kamu memaksaku menelurkan luka. Asal kamu tahu, usahamu itu sia-sia, Galih.

Ratna memandang nanar punggung Galih yang berjalan tertatih dalam rangkulan Tenri.

“Galih …,” panggil Ratna lirih. Galih berhenti, tetapi tak menoleh sedikit pun ke arahnya.

“Aku akan bertahan. Untukmu ...,” lanjut Ratna dengan suara bergetar.

Galih tak mengacuhkan. Ia kembali berjalan, meninggalkan Ratna, juga sup kacang merah yang kini mulai dingin.

Baiklah. Kali ini kuterima kekalahanku. Ratna pulang membawa dada yang sesak. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 30]"