Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 7]


“Ndak usah aneh-aneh! Ini acara sakral, Na!” Suara lelaki di hadapannya begitu keras. Berbeda dari biasanya, yang selalu terdengar lentur meski tegas. Kopi pahit di dalam cangkir telah habis diteguknya. Ratna hafal betul, kopi tanpa gula akan semakin mengeraskan pendapat ayahnya. Selalu begitu, kopi pahit akan membuat lelaki di hadapannya berubah keras.

“Menyelenggarakan ini tidak bisa seenaknya. Sekali seumur hidup buatmu. Sekali dalam hidup Mama, juga Papa.” Kali ini suara wanita paruh baya di sampingnya melengkapi pendapat dari pola pikir yang telah terbangun. Pola pikir yang mengharuskan bahwa acara pernikahan harus digelar sesuai adat dan kebiasaan yang selama ini berlaku di masyarakat.

Belum lagi, takdir Ratna yang terlahir sebagai anak tunggal membuat dirinya menjadi satu-satunya yang teristimewa bagi kedua orangtuanya. Maka, untuk acara pernikahan Ratna pun, orangtuanya ingin sesuatu yang istimewa dan sempurna. Lagi-lagi sempurna menurut pendapat mereka. Karena selain Ratna, tak ada lagi hajatan besar yang bisa dihelat kedua orangtua yang masih sangat menjaga image di depan rekan-rekan kerjanya sebagai pegawai pemerintahan.

Ratna menarik napas dalam. Ia tahu, mematahkan semua pola pikir yang sudah mengakar dalam jiwa orangtuanya itu tidak mudah. Apalagi, ide yang diajukan tentang konsep pernikahannya terbilang “tak biasa”.

“Nanti akan ada banyak pejabat yang datang di pesta kamu. Atasan-atasan Papa, juga Mama. Kamu harus menghargai itu. Sedikit saja salah melayani tamu-tamu itu, nama kami yang akan menjadi taruhan di instansi,” ibunya menambahi.

“Kemarin tentang aturan adat, sekarang tentang kehormatan. Serumit inikah sebuah pernikahan?” celetuk Ratna.

“Ratna!” Suara ibunya sedikit keras. Wanita itu hendak melanjutkan kalimat, tetapi urung lantaran ayah Ratna menahannya.

Ratna bertekad bahwa dirinya akan tetap bersikeras. Ia belum dibuat menyerah oleh keputusasaan. Gadis itu masih akan ngeyel selama tak menyalahi aturan agama. Untuk saat ini, ia hanya akan menjunjung tinggi aturan yang menyangkut syariat. Aturan dan budaya yang telanjur terbangun di masyarakat menurutnya masih bisa dibantah, selama itu tak menyalahi aturan Tuhan.

“Ma, Pa. Ini acara Ratna, bukan? Ratna yang akan menjalaninya. Memang benar, Mama dan Papa juga sangat terlibat di dalamnya. Tapi, tak bolehkah Ratna membuat sesuatu yang seharusnya memang dilakukan satu kali seumur hidup ini menjadi satu hal yang istimewa bagi Ratna? Ini sesuatu yang sebisa mungkin jangan pernah diulang untuk kali kedua, kan, Ma, Pa?” Intonasi suara Ratna sangat teratur. Ini memang sudah disiapkan gadis itu sebelumnya, termasuk penekanan pada kata satu kali seumur hidup.

Kedua orangtua Ratna berpandangan. Mata mereka terlihat lebih tajam.

“Justru karena sekali seumur hidup, jangan sampai mengecewakan! Sebagai anak, kamu harus nguwongke orangtua, dengan tidak membuat malu orangtuamu!” tegas ayahnya lagi.

“Mengecewakan? Bagi siapa?” sanggah Ratna dengan suara yang tak kalah tinggi.

Tatapan ibunya kembali tajam. “Bagi semua yang terlibat dalam acara ini, Ratna!” tukasnya geregetan. “Sudah, kamu jangan egois!” lanjut ibunya.

Ratna tersentak. Egois? Tudingan yang sangat menyebalkan, pikirnya.

“Sudah, sudah! Jangan buang banyak waktu. Sekarang sudah seharusnya menentukan konsep inti saat acara. Yang sewajarnya saja, kamu mau pakai gaya Jogja atau Solo? Paes ageng atau dodotan? Nanti baru konsep lain-lain menyesuaikan,” sambung ibunya lagi.

Nah! Siapa yang lebih egois? Ratna membatin. Kekesalannya sudah menumpuk di kepala. Napas dalam kembali terulur dari lubang hidungnya.

“Maaf, Ma! Ratna mau pakai konsep yang lebih simpel. Cukup pakai wedding dress yang nasional, dengan riasan yang lebih sederhana. Bukannya Ratna tak menghargai budaya, tapi Ratna ingin menjadi Ratna yang sebenarnya dalam hari penting Ratna nanti,” ujar gadis itu tak kalah tegas.

Tulang rahang ayahnya tampak mengeras, tak jauh beda dengan ibunya. Tekanan dalam bola mata wanita itu bertambah.

“Kalau kamu masih tak bisa mengerti, terpaksa Mama dan Papa ambil alih semua kendali. Kamu nurut saja, tinggal terima jadi,” tegas ibunya lagi. Ratna terkejut. Ia menangkap maksud wanita yang melahirkannya itu dan seketika makin tak bisa menerimanya.

“Kalau Ratna menolak, bagaimana?” tanyanya sedikit menantang. Menurutnya, kali ini ia harus nekat. Ia tahu betul, orangtuanya masih memiliki akal sehat. Tantangan itu tak akan sampai membuat keduanya mencabut restu untuk menikahkan anaknya. Apalagi, mereka sudah sangat sreg dengan calon menantunya. Galih berhasil mendapat tempat di hati orangtua Ratna. Mendapat label sebagai lelaki yang menjunjung tinggi tanggung jawab, cukuplah bagi ayah Ratna untuk memercayakan kehidupan anak gadis satu-satunya kepada Galih.

Ayah-ibunya kembali berpandangan. Napas mereka memburu, menahan marah yang sudah merah. Namun, bibir keduanya tak juga berkata-kata. Ratna mengambil kesempatan itu untuk menegaskan sikapnya.

“Baiklah.” Gadis itu berdiri sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kalau begitu, Ratna akan menanggung semua kebutuhan untuk pernikahan ini,” ujarnya sembari beranjak meninggalkan orangtuanya yang kini dibuat terkejut dengan kalimat Ratna barusan.

“Na! Ratna ...!” teriak ibunya, berusaha menahan gadis itu. Namun, untuk saat ini, Ratna tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia memilih pergi.

Bukankah mandat tertinggi untuk mengatur hidup kita adalah diri kita sendiri? pikir Ratna sembari berlalu. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 7]"