Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 8]



Garaga Modif yang selalu bising, tetapi semilir lantaran keberadaannya yang jauh dari permukiman penduduk. Letaknya di daerah yang masih hijau dan belum banyak terjamah tanaman beton. Bangunan yang berdiri di area seluas lima ratus meter persegi itu memang sengaja dibuat setengah terbuka untuk menghilangkan sekat antara alam dan industri.

Mata Galih begitu teliti mengamati salah seorang karyawannya yang sedang mengganti anting penghubung kaki-kaki dengan per daun pada sebuah mobil yang sedang di-make over, dari jenis jip keluaran ‘80-an menjadi kendaraan off-road.

“Yang ini sekalian diberi free lock biar gardan depan nggak ikut berputar saat nggak diperlukan,” ujarnya memberi arahan.

Karyawan baru lulusan SMK jurusan otomotif yang ada di sebelahnya itu manggut-manggut. Galih tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu pemuda itu sebelum beranjak meninggalkannya menuju karyawan lain yang juga berkutat dengan kesibukan yang sama.

“Gimana, Bro? Beres?” Kini ia mengamati kerja karyawan senior yang sedang sibuk menggarap bagian aksesori body mobil sejenis yang telah dicat ulang dengan warna putih.

“Sip! Tinggal pasang lampu tembak,” jawab Windra, karyawan yang sudah bekerja dengan Galih selama enam tahun dan hubungan mereka sudah seperti teman dekat. Lagi-lagi mata Galih sibuk meneliti bagian demi bagian yang sudah dikerjakan oleh orang kepercayaannya itu. Kepalanya mengangguk-angguk pelan, pertanda ia puas dengan hasilnya.

“Oke, good job!” ujarnya sembari menepuk pundak Windra dan berlalu menuju tempat karyawan lain sedang bekerja. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik. Matanya tampak terpejam, dahinya berkerut, jari telunjuk berada tepat di tengah-tengah dahinya. Lelaki itu berusaha mengingat-ingat sesuatu.

“Eh, Win, ini mobil yang milik customer dari Solo itu?” tanyanya kemudian.

“Yap.”

“Damn! Aku hampir lupa. Kemarin dia minta grille-nya diganti dengan model caribbean, sama dipasang roll bar. Ini mobil mau dipakai banting-bantingan, jadi harus ada roll bar biar penumpang aman kalau kali aja mobilnya terbalik saat turun medan. Oh ya, final gear-nya diganti yang 841, mau dipakai di medan berat,” jelasnya lagi.

“Sip! Itu aja? Ada tambahan lagi, nggak, Bos?”

“Nggak. Kalau hari ini jadi, besok mau diambil. Usahakan, ya?”

“Siap!”

Begitulah rutinitasnya. Setiap hari ia selalu memantau kerja karyawan merombak mobil-mobil jenis jip menjadi kendaraan off-road, atau sekadar dimodifikasi tampilannya menjadi sejenis jip kanvas.


Tujuh tahun lalu, ia yang melakukan pekerjaan itu. Mengutak-atik sendiri mobil rombeng jenis Jimny SJ410 keluaran 1984 yang biasa dipakai almarhum kakaknya sebelum meninggal delapan tahun silam. Sebenarnya, ia adalah lulusan sarjana teknik mesin, tetapi insting tajam seorang petualang membawanya pada keberhasilan mendirikan usaha ini. Kini karyawannya ada 21 orang. Garaga Modif menjadi salah satu bengkel modifikasi besar di Yogyakarta.

“Ada pesanan tiga puluh biji dalam waktu dua bulan, semua mentahan, beberapa malah mati mesin. Sanggup nggak, Gal?” Windra sudah berada di hadapannya ketika lamunan tentang perjalanan usaha yang digelutinya sedang berlarian di benak Galih. Ia terkesiap. Tiga puluh biji berarti tiga puluh unit mobil off-road.

“Ini proyek besar! Kita maksimalkan kinerja dan potensi semua karyawan, pasti mampu!” ujarnya dengan semangat meluap. Lelaki itu tersenyum lebar. Hasil perjuangannya membangun Garaga Modif semakin berkibar. Sebuah harta yang ia gadang-gadang untuk membangun hidupnya ke depan bersama Ratna dan anak-anak mereka kelak.

Tak lama kemudian bunyi ponsel pintar di meja kerjanya mengalihkan perhatian. Galih melirik layarnya sekilas, lalu dengan cepat menyambarnya setelah melihat sebuah nama di sana.

“….”

“Bisa. Tunggu lima belas menit, ya?” jawab Galih. Setelah menutup ponsel, ia segera beranjak dari Garaga Modif menuju sebuah kafe setelah memasrahkan pekerjaannya kepada Windra.

Di sebuah kafe sederhana bergaya oriental dan didominasi ornamen lampion klasik merah menyala, seseorang yang tengah duduk dengan wajah lelah telah menunggunya. Ratna.

“Kamu nggak lagi sibuk, kan?” tanya gadis itu dengan suara ceria. Susah payah dibuat semringah agar terdengar tanpa beban, tepatnya.

Galih tersenyum tanpa suara. Ia hanya mengusap lembut ubun-ubun gadis itu, lalu mengambil tempat duduk di depannya.

“Apa yang terjadi?” tanya Galih kemudian, sembari memesan air mineral kepada pelayan. Ia tahu, meski tak mengungkapkan hal sebenarnya, Ratna sedang menyimpan sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Masih dengan usaha menampakkan agar semuanya baik-baik saja, Ratna pun menjelaskan apa yang tengah terjadi antara ia dan orangtuanya. Sesekali ia tertawa, setelah itu murung, kemudian tertawa lagi. Mimik mukanya berganti-ganti, mengikuti alur cerita yang ia sampaikan dengan runtut kepada Galih. Meski gadis itu selalu bersusah payah menyembunyikan kegelisahannya, Galih bisa membaca perasaannya.

“Kita bicara baik-baik sama mereka, ya?” Galih memberi solusi.

Ratna mendelik. “Hmmm .… Aku nggak yakin,” ujarnya sembari menyandarkan punggung di kursi. Ratna tahu, orangtuanya terlalu keras kepala dalam urusan ini. 

“Kenapa enggak? Ini hanyalah masalah beda sudut pandang, kok. Semua masalah akan selesai jika diurai dengan baik-baik.” Galih berusaha meyakinkan. Diam-diam Ratna membenarkan. Satu dari sekian banyak hal yang disuka pada diri kekasihnya itu adalah sikap dewasa dan bijak. Sikap yang tak pernah ia temukan pada sebagian besar kaum lelaki di lingkaran kehidupannya. Meski demikian, ia tetap berkeyakinan bahwa kali ini sikap orangtuanya tak akan mudah ditentang.

“Tapi, kamu setuju, nggak, kalau kita biayai sendiri pernikahan ini?” tanya Ratna kemudian. Mata Galih membulat.

“Pasti!” ujar Galih tegas sembari mengulas senyum dari sudut bibirnya.

Mata Ratna membelalak. “Really?”

Galih mengangguk mantap.

Kemudian, mereka mulai menghitung perkiraan biaya yang harus disiapkan untuk mewujudkan pesta yang sesuai dengan konsep yang sudah direncanakan. Awalnya Galih bersikeras akan membayar semua biaya. Sebagai pihak lelaki, ia merasa wajib mengambil tanggung jawab itu. Namun, Ratna menolak mentah-mentah. Menurutnya, pesta mereka adalah tanggung jawab mereka berdua. Setelah sempat beradu pendapat yang lumayan alot, akhirnya mereka sepakat biaya ditanggung secara fifty-fifty.

“Kalau undangannya seribuan, kita pakai seratus juta cukup, nggak, ya?” kata Ratna seraya memencet-mencet angka pada aplikasi kalkulator di ponsel pintarnya. Meski ia tahu tabungan di rekeningnya belum mencapai setengah dari angka yang disebutkan, gadis itu yakin dalam waktu setahun ke depan, semua biaya akan terkumpul.

“Bisa aja, yang penting pintar menyiasatinya. Eh, tunggu dulu, seribu? Banyak banget?” Galih sudah berpindah tempat duduk di sebelah Ratna.

“Ya, kan, kita juga ngundang tamu dari Mama, Papa, sama Ayah.” Mama dan Papa adalah sebutan untuk orangtua Ratna, sedangkan Ayah adalah orangtua Galih. Ibu Galih sudah meninggal sejak laki-laki itu masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Hmmm … kalau gitu, harus ada biaya yang kita tekan. Mungkin untuk pembuatan undangan, suvenir, dan dokumentasi bisa dilakukan. Yang lain seperti sewa tempat, baju pengantin, salon, dan katering sulit ditawar sepertinya. Udah pakem dari sananya,” Ratna menambahi. Kini tangannya sudah sibuk menulis sesuatu di blocknote-nya. Sebuah hitung-hitungan kasar yang ia perkirakan untuk pengeluaran berbagai keperluan nanti.

“Untuk dekorasi, nanti anak-anak bisa dikaryakan. Pakai harga teman, lumayan ngurangin bujet,” cetus Galih sambil menyebut anak-anak untuk menunjuk karyawan-karyawannya.

“Sama, dong, kayak foto dan video. Kita karyakan aja Andri dan anak-anak Aksata lainnya. Hahaha ... ngirit dikit bolehlah, ya …,” timpal Ratna. Mereka terkekeh.

Menjelang malam, mereka baru meninggalkan kafe yang semakin ramai oleh pengunjung. Masing-masing dari mereka telah membawa catatan berupa tugas-tugas dan tanggung jawab mengenai apa saja yang harus di-handle. Ratna bertanggung jawab atas undangan, suvenir, baju pengantin, katering, serta foto dan video prewedding. Sedangkan Galih mendapat bagian meng-handle gedung, dekorasi, tenda kursi, serta transportasi dan akomodasi pada saat hari H. Sisanya seperti mencari mas kawin, mahar, dan seserahan akan mereka tangani bersama. 

Post a Comment for "Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 8]"