Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 3]

Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 3]

Daftar Isi
Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 3]

Andri datang dengan muka cengengesan ketika Ratna tengah serius berkutat dengan Adobe Premiere pada layar monitor di hadapannya. Dilihat dari tampangnya, laki-laki itu seperti baru saja puas mendapat mangsa.

“Ke mana aja lo, Nyet?” hardik Ratna begitu Andri menjatuhkan tubuh di kursi sebelah Ratna, lalu iseng memutar kursi yang diduduki Ratna dengan kencang. Ratna pun berputar dua kali 360 derajat di atas kursinya. Putaran yang menghasilkan denyut hebat di kepalanya.

“Mau tahu aja, apa ....”

“Mau tahu anget! Sekalian cabai rawit sepuluh biji!” potong Ratna sebal sembari memegangi kepalanya. Partner kerja yang juga sahabat dekatnya itu memang terkadang membuatnya gondok.

“Hehehe ... habis ngadem di kafe depan, Nyuk,” jawab Andri sembari menyalakan komputer di sebelah kanan meja Ratna.

“Lah? Gue, kan, dari sana juga. Kok, nggak tahu, sih, kalau ada lo?” ujar Ratna ber-lo-gue. Terbawa kebiasaan Andri yang asli Jakarta.

“Gue tahu, kok. Lo sama Bang Sat, kan?”

“Heh! Yang sopan lo!” Sebuah gulungan poster mendarat di kepala Andri. Lelaki itu meringis.


Ratna bertemu Andri, ibarat Tom bertemu Jerry. Kadang akur, kadang ribut. Kadang pula kelakuan mereka mendadak alay. Namun, sebenarnya saling melindungi. Posisi kerja Ratna sebagai videographer dan Andri sebagai fotografer yang juga merangkap tukang edit video membuat keduanya dekat. Kedekatan itu sudah terjalin hampir lima tahun lamanya. Ketika itu mereka sama-sama babat alas membangun Aksata, setelah seseorang bernama Tomy William mempertemukan mereka dan mau menyediakan modal untuk membangun sebuah perusahaan video maker yang kini sudah berkembang menjadi biro iklan. Bersama Tomy yang kemudian menjadi bos perusahaan yang awalnya kecil itu, Ratna dan Andri bersama-sama melakukan perjuangan merawat Aksata dan membesarkannya.

“Bos Tomy ada, nggak?” selidik Andri yang tahu-tahu sudah membawa secangkir kopi hitam dari pantry. Bosnya itu paling tak suka jika ada makanan atau minuman dalam bentuk apa pun di ruang kerja. 

Ratna hanya mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari potongan-potongan gambar video dokumentasi di depannya. Ponsel warna lavendel dikalungkan begitu saja di leher jenjangnya.

Jam-jam menjelang magrib begini biasanya bos mereka yang kaku itu sudah pulang kecuali jika ada pekerjaan yang menuntut untuk segera diselesaikan, atau sekadar menunggu klien kelas hiu yang akan menggunakan jasa Aksata. Sedangkan, karyawan seperti Ratna maupun Andri memilih meneruskan tugasnya menggarap editan video di kantor, lantaran esok pekerjaan dari customer lain sudah banyak menanti.

“Kerjaan berjibun dan gue udah ngantuk banget. Ada Baygon, nggak, Nyet?” ucap Ratna asal sambil mengucek mata.

“Ada! Atau mau talinya sekalian? Mau gue bantu pasangin di leher lo? Biar bebas hambatan gitu ....”

Ratna menarik telinga Andri tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Andri malah cekikikan sendiri.


Jika pekerjaan sedang menumpuk, biasanya Ratna akan memaksimalkan kerjanya untuk mengedit video di kantor hingga malam dan pulang sebelum pukul sembilan. Sedangkan Andri, bahkan terkadang menginap di kantor jika ia harus melakukan pekerjaan yang sama sampai tengah malam. Mereka adalah personel senior yang dipercaya menangani proyek-proyek kelas kakap.

Hampir pukul enam sore. Andri beranjak dan kembali ke ruang kerja dengan T-shirt abu-abu tipis yang sudah menempel di badan menggantikan seragam yang sebelumnya ia kenakan. Di luar jam kantor pada umumnya, Tomy memperbolehkan karyawan mengenakan pakaian nonseragam. Di luar itu, jangan harap.

“Kayaknya ini editan mau gue sikat malem ini, deh,” ujar Andri sembari kembali menjatuhkan badan di kursi kerjanya. Ratna yang kini serius mendengarkan audio dari ponsel hanya menoleh sebentar, lalu kembali menekuni pekerjaannya.

Memang, tak ada jam pakem untuk pekerjaan mereka. Jam kerja menyesuaikan waktu eksekusi sebuah proyek. Bisa pada saat pengambilan gambar ataupun saat proses pengeditan foto serta video dilakukan. Kadang bisa berhari-hari mereka harus lembur, kadang bisa beberapa hari pula mereka nganggur. Untuk opsi kedua, tiga tahun belakangan sudah menjadi sesuatu yang langka bagi Ratna dan Andri, seiring dengan perkembangan Aksata yang semakin pesat. Hal yang sama dilakukan oleh karyawan lain yang memiliki posisi sama dengan mereka. Jadi, selama 24 jam, kantor yang bergerak di bidang kreatif ini jarang kosong dari karyawan.

Meski demikian, karyawan Aksata tetap mendapat jatah libur layak. Tomy tahu betul profesionalitas dunia kerja. Maka, ia pun tak mau melanggar aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan memberi jatah libur minimal sehari dalam satu minggu, dengan hitungan empat puluh jam kerja dalam seminggu. Karyawan diberi kepercayaan penuh menghitung sendiri jam kerjanya.


“Eh, Nyet, gue mau nikah, loh,” celetuk Ratna di tengah keseriusan mereka dengan materi video masing-masing.

Andri yang sedang memegang tombol volume pada speaker portabel di samping monitor spontan memutarnya ke mode paling tinggi. Ratna kembali menimpuknya dengan gulungan koran sebelum akhirnya Andri memutar tombol itu ke arah berlawanan untuk mengecilkan suara audio yang sempat memekakkan telinga mereka. Untungnya, ruangan itu sudah sepi. Beberapa karyawan yang juga lembur ada di ruangan lain.

“Jangan drama lo, Nyuk!”

Mata Ratna memelotot. “Lo pikir gue punya tampang macam Lee Hyori, gitu?!”

“Jadi, beneran?!” Andri masih belum bisa menurunkan kadar keterkejutannya.

Ratna membuka blocknote dan menunjukkan catatan tentang rencana pernikahannya, tepat lima senti di depan muka Andri. Andri langsung meraih catatan itu dan membaca detail tulisan Ratna yang meski asal, tetap terlihat artistik.

Tak sampai setengah menit, tawa Andri meledak. Ratna kembali merebut blocknote-nya.

“Nyuk! Ini lo serius? Wah, wah, ugal-ugalan, lo!” umpatnya kemudian.

“Eh, umur lo baru dua lima, kan?”

“Dua enam! Dan, itu lebih daripada cukup dari usia matang pernikahan menurut BKKBN!”

“Emang berapa, kalau kata BKKBN?”

“Dua puluh tahun untuk perempuan, dua puluh lima tahun untuk laki. Miskin pengetahuan banget, sih, lo!”

“Berarti, gue juga udah cukup umur, dong?”

“Kalau lo, sih, cukup uzur,” ledek Ratna sembari terkekeh. Tangan Andri mendarat di rambut Ratna yang dicepol tinggi, lalu dengan sigap merampas ikatannya. Rambut hitam tebal itu kini terurai hingga lengan. Ratna yang paling sebal diperlakukan seperti itu langsung merebut ikat rambutnya, kemudian mengikatnya kembali tinggi-tinggi.


Lantas, pandangan Andri tertuju pada fisik Ratna secara keseluruhan, dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Pemandangan yang sudah dihafal luar kepala oleh Andri. Rambut yang selalu dan selalu hanya dikucir cepol tinggi, leher jenjang tanpa aksesori apa pun, baju yang modelnya selalu boyish, celana jins pensil, serta sepatu kanvas yang meski berganti-ganti warna, modelnya begitu-begitu saja. Gadis yang cantik, tetapi sepi polesan. Ratna hanya akan sedikit berdandan dan memoles penampilannya jika sedang bertugas sebagai camera person untuk pekerjaannya ataupun saat melakukan presentasi di depan calon klien.

“Apa lo lihat-lihat?” hardik Ratna menyadari kelakuan Andri kepadanya. Yang dibentak nyengir kuda.

“Kok, bisa ya, Galih cinta mati sama lo?” ujar Andri enteng. Ratna kembali memelotot dan mendekatkan wajahnya ke muka Andri.

“Lihat baik-baik! Lo harus mengakui kalau muka Astrid Tiar sebelas dua belas sama muka gue!”

Andri ingin memuntahkan tawanya, tetapi urung. Ia baru menyadari fakta yang selama ini terlewat dari pengamatannya.

“I-iya, sih ....” Kali ini kata sepakat meluncur dari mulut Andri. Ratna jemawa.

“Heh, tapi perempuan mana ada yang mau disama-samain? Galih juga bukan tipe laki-laki yang cuma memuja fisik, tahu? Gue yakin, bagi dia, gue ini unik, berbeda, dan bisa membuat dia nyaman,” ke-narsis-an Ratna membuat Andri buru-buru beranjak dan memilih tiduran di sofa lobi yang sudah sepi. Tawa Ratna lepas lagi. 

Open Comment
Close Comment

Post a Comment