Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 4]

Novel Romantis: Menikahlah Denganku [Part 4]

Daftar Isi


BAB 2


Awalnya hanya bermaksud memperjuangkan aspirasi, tetapi pada akhirnya malah seperti panggung debat di rumah sendiri. Ratna yang sedari tadi sudah cukup ngotot untuk mempertahankan argumennya tentang tanggal pernikahan akhirnya bosan juga melawan tiga orang yang kini duduk satu meja dengannya.

“Kamu lahir Jumat Paing. Berarti, Jumat neptu-nya enam, Paing hari pasarannya sembilan. Hasilnya lima belas.” Kakek Ratna yang usianya sudah mencapai delapan puluh tahun itu masih tampak gesit menggoreskan pena. Tangannya yang sudah berkeriput sibuk mencoret-coret lembaran kertas kosong di depannya. Di kursi lain, ada ayah dan ibunya yang ikut mengamati.

Ratna mendengarkan dengan perasaan kurang tertarik. Ia bahkan tak antusias menanyakan apa itu neptu kepada tiga orang tua di sana. Ruang santai di halaman belakang yang semilir dan menjadi tempat favoritnya membaca kini sedang tak menyenangkan baginya.

“Dari lima belas dikurangi sembilan, hasilnya enam,” sang kakek kembali melanjutkan hitungannya. Ratna tak peduli. Bahkan, untuk bertanya kenapa bisa angka sembilan yang digunakan untuk mengurangi hasil hitung-hitungan hari kelahiran itu ia tak tertarik sama sekali. Eyang kakungnya itu hanya mengatakan bahwa hal itu sudah merupakan aturan baku dalam hitung-hitungan Jawa, karena sembilan merupakan angka tertinggi dari segala angka.

“Galih lahir hari apa, Nduk?” tanya Kakek tepat ketika Ratna hendak beranjak untuk mengambil minuman dingin di dapur.

“Tanggal sepuluh Oktober, Eyang,” jawabnya sedikit malas. Gadis itu mengurungkan niat untuk berdiri.

“Bukan itu. Maksud Eyang, hari lahir, weton,” timpal kakeknya lagi.

“Ratna tanya dulu, deh.” Masih dengan malas ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Galih. Tak sampai semenit, datang pesan balasan untuknya.

“Minggu Legi, katanya,” lanjut Ratna setelah membaca pesan itu. Sang kakek kembali sibuk dengan pena dan kertasnya.

“Minggu berarti neptu lima. Legi hari pasarannya lima juga. Hasilnya sepuluh, dikurangi sembilan, didapat angka satu. Hasil wetonmu tadi enam, weton Galih satu. Enam dan satu,” sejenak Kakek menghentikan kegiatan coret-coretnya. Kerut di dahinya bertambah. “Enam dan satu itu berarti ....” Kalimatnya terhenti. Napasnya berat. Pandangannya terpaku pada kertas itu. Ayah dan ibunya saling berpandangan. Wajah mereka diliputi kecemasan. Ratna ikut tegang.

“Enam dan satu. Satu dan enam. Jauh dari sandang pangan,” lanjut kakeknya lagi. Ayah dan ibunya kembali berpandangan. Mereka saling melempar aura kegelisahan. Ratna diam. Ia makin mengutuki adanya sistem hitung-hitungan tanggal.

“Bagaimana? Arep diteruske, ora? Dilanjutkan, tidak?” pertanyaan sang kakek membuat Ratna tersentak.

“Ya, jelas dong, Eyang. Masa hanya karena itu Ratna nggak bisa menikah dengan Galih?” Suara Ratna sedikit meninggi.

“Dengarkan saja eyangmu. Jangan ngeyel dulu!” tukas ibunya. Dengus kesal terdengar samar dari napas Ratna.


“Ma, Pa, Eyang, bukankah Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha mengubah keadaannya sendiri? Kalian tidak meragukan dalil itu, kan?” Kali ini Ratna lebih berani. Menurutnya, hitung-hitungan itu hanya akan menghalangi niat baik manusia untuk menyempurnakan agamanya dengan menikah.

“Iya, Eyang tidak meragukan, Nduk. Ya sudah, kalau memang kamu mantap dan siap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun dalam kehidupan pernikahanmu kelak, ya tidak apa-apa. Bagaimana?”

“Sangat mantap, Eyang.” Benar saja, tak ada keraguan sedikit pun dari suara Ratna. Kakeknya mengangguk-angguk sembari mencomot pisang goreng hangat yang terhidang di meja.

“Kalau begitu, sekarang tinggal pilih saja, mau menikah di bulan Jumadilakhir, Rajab, Ruwah, atau Besar. Empat bulan itu yang paling bagus dari dua belas bulan Jawa yang ada. Nanti baru kita hitung lagi untuk menemukan tanggal baiknya,” Kakek menyebutkan nama-nama bulan yang asing di telinga Ratna.


Ratna melongo. Gadis itu tak habis pikir. Menurutnya, semua tanggal dan bulan sama. Tak ada tanggal buruk, hari buruk, bulan buruk. Maka dari itu, seperti yang pernah disampaikan beberapa waktu lalu kepada orangtuanya, ia meminta agar pernikahannya dilaksanakan pada 1 April 2014. Jika dirangkai secara numerik akan menghasilkan deretan angka 1414. Simpel dan mudah diingat.

Akan tetapi, setelah mereka melihat kalender, 1 April 2014 jatuh pada bulan Jumadilawal. Tarikan napas panjang terulur dari hidung Ratna.

“Ora apik, Nduk. Menyelenggarakan hajat pada Jumadilawal itu nantinya di dalam rumah tangga kalian akan sering mengalami kehilangan. Banyak musuh juga.”

Ratna mendengus lagi. “Nasib dan takdir seseorang siapa yang tahu, Eyang?” lanjutnya kembali meneguhkan pendirian. Tatapan pedang dari ayah-ibunya lagi-lagi mampir ke arahnya. Itu berarti isyarat untuk Ratna bahwa ia harus mengurangi bongkahan batu di kepalanya.

Pembicaraan tentang pemilihan hari baik berlanjut.

Ratna tak pernah berpikir sebelumnya bahwa penentuan tanggal pernikahannya akan seribet ini. Kakek yang sengaja didatangkan dari Surakarta untuk membahas masalah tanggal kini semakin serius memilih-milih waktu yang tepat.

Ratna diam saja. Ia sudah malas menyampaikan usul yang ia tahu pada akhirnya akan patah oleh argumen-argumen sang kakek berdasar penanggalan Jawa. Ayah dan ibunya yang selama ini cukup demokratis terhadap anaknya juga tak banyak membantah. Bukan karena malas berpendapat, melainkan karena mereka juga sangat tahu bahwa hitungan tanggal berdasar primbon itu tak akan bisa dinego.

Setelah sempat adu argumen dengan pikiran masing-masing, akhirnya secara otoriter tiga orang tua itu menetapkan tanggal pernikahan Ratna jatuh pada bulan Besar. Secara nasional, bulan itu jatuh pada akhir September hingga mendekati akhir Oktober 2014. Kemudian, mereka sepakat 5 Oktober dipilih sebagai tanggal sakral itu. Ratna pasrah. Saat ini, menentang hanyalah perkara sia-sia..

Open Comment
Close Comment

Post a Comment